A.
FILSAFAT PENDIDIKAN MENURUT
KI HAJAR DEWANTARA
1. Biografi Ki Hajar Dewantara
Ki Hadjar
Dewantara (Yogyakarta, 2
Mei 1889–26 April 1959) adalah seorang pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia pada zaman
penjajahan Belanda. Lahir dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat, beliau mendirikan
perguruan Taman Siswa yang memberikan
kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh pendidikan seperti halnya
para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Beliau wafat pada 26 April 1959 dan dimakamkan di Wijayabrata, Yogyakarta. Tanggal lahirnya, 2 Mei, kemudian dijadikan Hari Pendidikan Nasional di
Indonesia. Beliau dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia dan wajahnya bisa
dilihat pada uang kertas pecahan Rp20.000. Nama beliau diabadikan sebagai salah
sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara.
Selain itu, sampai saat ini perguruan Taman Siswa yang beliau dirikan masih ada
dan telah memiliki sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Banyak karya beliau yang menjadi landasan rakyat
Indonesia dalam mengembangkan pendidikan, khususnya kalimat filosofis (selain
dari konsep 3 dinding diatas) seperti ING NGARSO SUNTOLODO, ING MADYO MANGUN
KARSO, TUT WURI HANDAYANI (Di depan memberi teladan, di tengah memberi
bimbingan, di belakang memberi dorongan). Semboyannya yang paling terkenal
yaitu “tut wuri handayani” yang selalu tertempel di topi, dasi, dan tidak
jarang juga di dada setiap siswa siswi Indonesia dari SD sampai SMU.
Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa pada
tahun 1922 di Yogyakarta. Sebuah lembaga yang pertama kali menjadi motivator
bagi warga negara Indonesia demi melanjutkan kemerdekaan yang akan menjadi
proses kemerdekaan kita saat ini. Sejak awal Taman Siswa memiliki semboyan yang
tertera diatas. Semboyan yang sering dipertanyakan oleh berbagai peserta didik
saat ini. Apa yang terkandung dalam semboyan yang menjadi dasar filosofi
pendidikan yang dibuat oleh Ki Hajar Dewantara.
2. Pemikiran Ki Hajar
Dewantara
Berbagai macam cara yang dilakukan Ki Hajar dewantara
demi memperjuangkan kemerdekaan pendidikan Indonesia. Salah satunya dengan
seringnya mengubah namanya sediri. Hal tersebut dimasudkan untuk menunjukkan
perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke
pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru
spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk
melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya
menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian
menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik
untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan
sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure
keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu,
nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan
kebaikan, keluhuran, keutamaan.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah
tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak- anak. Adapun tujuannya adalah menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia
dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya. Dengan berbagai ide yang dimiliki dari Ki Hajar Dewantara
ada satu konsep yang terlupakan. Ki Hajar pernah melontarkan
konsep belajar 3 dinding. Kalau kita mengingat masa lalu ketika masih di
bangku sekolah, bentuk ruang kelas kita rata-rata adalah persegi empat. Nah, Ki
Hajar menyarankan ruang kelas itu hanya dibangun 3 sisi dinding saja. Ada satu
sisi yang terbuka. Konsep ini bukan main-main filosofinya. Dengan ada satu
dinding yang terbuka, maka seolah hendak menegaskan tidak ada batas atau jarak
antara di dalam kelas dengan realita di luar.
1.
Tujuan
pendidikan
Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan
pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan
manusia atau menjadikan manusia/peserta didik kian beradab dan memiliki
keadaban (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju
untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta
didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya.
Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
Selain itu pendidikan juga merupakan
sarana untuk memperbaharui diri. Tanpa pendidikan, kita akan terperangkap hidup
pada masa lalu. Itu sebabnya pakar kepemimpinan Manfred Kets De Vries mencatat,
salah satu penghalang bagi manusia untuk memperbaharui diri adalah karena
selalu merupakan produksi masa lalu. Jika hingga saat ini pendidikan hanya
dimengerti sebagai pengajaran sebagaimana telah terjadi selama ini, maka kita
juga tidak akan pernah berubah. Akibatnya kita akan selalu menjadi produk masa
lalu yang tidak beruntung.
2. Hakekat
pendidikan
Ki
Hadjar Dewantara membedakan antara sistem “Pengajaran” dan
“Pendidikan”. Menurutnya pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari
aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih
memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil
keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Manusia merdeka itu adalah manusia
yang hidupnya secara lahir dan batin tidak tergantung kepada orang lain, akan
tetapi ia mampu bersandar dan berdiri di atas kakinya sendiri. Artinya
sistem pendidikan itu mampu menjadikan setiap individu hidup mandiri dan berani
berpikir sendiri atau memakai istilah Kant, sapere aude. Dalam
arti luas maksud pendidikan dan pengajaran adalah bagaimana memerdekakan manusia
sebagai anggota dari sebuah persatuan (rakyat). Kemerdekaan yang dimaksud
adalah kemerdekaan yang bersifat dewasa dan menjunjung tinggi nilai-nilai hidup
bersama. Oleh karena itu, setiap orang merdeka harus memperhatikan dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana ia hidup. Dalam hal ini harus
menyadari bahwa setiap individu juga memiliki hak yang sama seperti dirinya
yang juga berhak menuntut kemerdekaanya.
Dapat
disimpulkan bahwa menurut KHD pendidikan yang sesungguhnya adalah menyangkut
jiwa dan raga setiap individu untuk semakin dewasa dan mandiri. Pendidikan di
sini termasuk lahir dan batin. Serta pendidikan harus melibatkan pertimbangan
kemanusiaan dan selaras dengan nilai-nilai hakiki yang ada dalam diri setiap
peserta didik.
3. Metode
Pendidikan
Dalam
pemikiran kihajar dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan
ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan
pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala,
hati dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the hand).
Among mempunyai
pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang. Pelaksana
“among” (momong) disebut Pamong, yang mempunyai kepandaian dan pengalaman lebih
dari yang diamong. Guru atau dosen di Tamansiswa disebut pamong yang bertugas
mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu. Tujuan sistem among membangun anak
didik menjadi manusia beriman dan bertakwa, merdeka lahir batin, budi pekerti
luhur, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani rohani agar menjadi
anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah
air serta manusia pada umumnya.
Sistem among
mengharamkan hukuman disiplin dengan paksaan/kekerasan karena itu akan
menghilangkan jiwa merdeka anak. Sistem
Among dilaksanakan secara “tut wuri handayani” dimana kita dapat “menemukenali”
anak, bila perlu perilaku anak boleh dikoreksi (handayani) namun tetap
dilaksanakan dengan kasih sayang. Pendidikan yang beralaskan
paksaan-hukuman-ketertiban kita anggap memperkosa hidup kebatinan sang anak.
Yang kita pakai sebagai alat pendidikan yaitu pemeliharaan dengan sebesar
perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya
sendiri. Itulah yang kita namakan Among Methode.”
4.
Kurikulum Pendidikan
Mengenai kurikulum Ki Hajar belum
memberikan definisi kurikulum secara konkrit. Namun secara substansial sudah
tersirat, sebagaimana yang dikutip Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A dari buku Ki
Hajar Dewantara yang berjudul Bagian Pertama Pendidikan, menyatakan
pembagian pelajaran kepada dua bagian pertama, pelajaran yang selain memberikan
pengetahuan (kepandaian) yang berpengaruh pada kemajuan batin. Dalam artian
mematangkan pikiran, rasa, dan kemauan. Yang kedua, adalah pelajaran yang yang
memberi bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum;
yaitu pelajaran yang meliputi lapangan kultural dan kemasyarakatan.
Hal yang lainnya adalah bahwa Ki Hajar
Dewantara amat mementingkan pendidkan kanak-kanak, (sebagaiman yang di cantumkan
dalam asas taman siswa pasal 6) kesenian, kekeluargaan, keIndonesiaan,
kejiwaan, kesopanan, dan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing.
Dapat disimpulkan bahwa pandangan Ki
Hajar Dewantara mengenai Kurikulum pendidikan lebih banyak
mengarah kepada pembentukan kemampuan anak didik agar mandiri, merdeka namun
dapat mencerna pendidikan barat yang lebih bersifat intelektualitas dan
materalisme.
3. Pokok Pikiran Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara
Konsep
Ki Hajar Dewantara termasuk aliran filsafat pendidikan yang menganut definisi
pendidikan, apabila dilihat dari sudut aliran filsafat pendidikan
evolusionistis yang lebih menekankan tangga-tangga psikologis perkembangan
manusia. Suatu konsep pendidikan yang lebih mengarahkan orientasinya pada aspek-aspek
kehidupan modern yang kompleks dan rumit kaitannya, yang lebih individualisis
sehinga menuntut kemampuan individual masing-masing pribadi dalam mengadakan
penyesuaian kehidupan psikologsnya. Konsep tentang anthropologi filsafat kalau
tidak dirumuskan dalam definisi pendidikan dapat dicari pada rumusan tentang
tujuan pendidikannya. Sebagai contoh dalam sejarah pemikiran filsafat
pendidikan Indonesia, kita dikenalkan dengan salah satu rumusan tujuan
pendidikan sebagai berikut Membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara
yang demokratis serta bertanggung jawab atas kesejahteraan Negara dan tanah
air.
Dalam
rumusan ini hakekat manusia sebagai suatu aspek yang bernilai martabat yang
sama, sehinga yang satu tidak boleh mencaplok atau menghisap yang lain, artinya
manusia dihisap warga negara sehingga mengarah ke terhisapnya kepentingan
individu demi kepentingan dan kejayaan Negara, dan sebaliknya hilangnya aspek
warganegara dan mengarah ke individualisme yang otomistis. Suatu ilustrasi
tujuan pendidikan yang mengarah ke penghisapan individualitas manusia ke dalam
konsep warganegara adalah definisi pendidikan di bawah ini Pendidikan adalah
kegiatan atau proses dengan mana individual dibina agar loyal setia tanpa sarat
dan penyesuaian membuka pada kelompok atau individu.
B. PARADIGMA ONTOLOGI PENDIDIKAN
1. Pengertian ontologi
Ontologi merupakan salah satu
kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu
yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat
ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum
membedaan antara penampakan dengan kenyataan.
Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan
substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih
penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari
satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Hakekat kenyataan atau realitas memang
bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:
§ kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan
apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
§ Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan
apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti
misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan
sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara
kritis.Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme
Istilah istilah terpenting yang terkait
dengan ontologi adalah:
§ yang-ada (being)
§ kenyataan/realitas (reality)
§ eksistensi (existence)
§ esensi (essence)
§ substansi (substance)
§ perubahan (change)
§ tunggal (one)
§ jamak (many)
Ontologi
ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang
dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya).
Ontologis; cabang ini menguak tentang objek
apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ?
bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert
berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi
tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh
filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas
yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang
tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada
yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya
mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens
Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
2. Objek
formal ontologi
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh
realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau
jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi
aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme.
Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang
terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan
diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles
dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami
sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek
materialisme dari mental.
3. Metode
dalam ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan
abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan
abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas
sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang
menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan
prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas.
Abstraksi yang
dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode
pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu :
pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan
meletakkan term tengah berada
lebih dahulu dari predikat;
dan pada kesimpulan term tengah
menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh
:
Sesuatu yang
bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu
sesuatu yang lahiri (S-Tt)
Jadi, badan
itu fana’ (S-P)
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas
kesimpulan; dan term tengah
menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara
pembuktian a posterioris
disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh
:
Gigi geligi itu gigi geligi rahang
dinasaurus (Tt-S)
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan
tumbuhan (Tt-P)
Jadi,
Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)
Bandingkan
tata silogistik pembuktian a priori
dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan;
sedangkan yang a posteriori di
berangkatkan dari term tengah
di hubungkan dengan subjek, term
tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.
4. Sebuah Paradigma Ontologi Pendidikan
Secara ontologism, dikatakan
bahwa tanpa manusia pendidikan itu bukan apa-apa (nothing), sebaliknya tanpa
pendidikan mustahil manusia mampu mempertahankan kelangsungan dan mengembangkan
hidupnya.
Secara ontologis manusia berada dalam tiga tingkatan hakikat yaitu;
Secara ontologis manusia berada dalam tiga tingkatan hakikat yaitu;
§ Essensi abstark pendidikan.
Artinya pendidikan itu bersifat universal yaitu mutlak ada dan berlaku untuk
setiap manusia siapapun, kapanpun dan dimanapun.
§ Essensi potensial
pendidikan. Dalam hal ini manusia menjadi dirinya sendiri dimana ia menumbuh
kembangkan keceerdasan intelegensi sehingga terbentuk kepribadian yang kreatif.
Dimana ia dapat yekun, teliti dan terampil dalam menghadapi masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
§ Essensial konkret pendidikan.
Pada tingkatan ini pendidikan adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran akan
hakekatnya berdasarkan asal mula dan tujuan hidup manusia.
C. KEBENARAN
DALAM PENDIDIKAN
Manusia
selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya
terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan
pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan
mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan
manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup
yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan
dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
Pendidikan
pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk
menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua
orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan
kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai
nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau
martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Kebenaran
sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia.
Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah
hakekat kebenaran itu?
Jika
manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk
melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu
bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis.
Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada
kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada
pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum
universal.
1. Pengukuran definisi kebenaran
Apakah kebenaran itu? Inilah yang lebih
lanjut harus dihadapi di dalam filsafat ilmu. Hal kebenaran sesungguhnya
merupakan tema sentral di dalam filsafat ilmu. Secara umum orang merasa bahwa
tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran. Rasanya lebih tepat kalu
pertanyaan kemudian dirumuskan menjadi apakah pengetahuan yang benar itu
Problematika
mengenai kebenaran, seperti halnya problematic tentang pengetahuan, merupakan
masalah-masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadarminta
ditemukan arti kebenaran yakni:
a.
Keadaan
(hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang
sesungguhnya); misal, kebenaran beita ini masih saya sangsikan; kita harus
berani membelan kebenaran dan keadilan.
b.
Sesuatu
yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya);
misal, kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama.
c.
Kejujuran;
kelurusan hati; misal tidak ada seorang pun yang sangsi akan kebaikan dan
kebenaran hatimu.
d.
Selalu
izin; perkenaan; misal, dengan kebenaran yang dipertuan.
e.
Jalan
kebetulan; misal, penjahat itu dapat dibekuk dengan cara kebenaran saja.
Dalam
kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam
kepribadian dan kesadarannya tak mungkin tanpa kebenaran.
Berdasarkan
scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
a.
Tingkatan
kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhana dan pertama
yang dialami manusia.
b.
Tingkatan
ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indera, diolah
pula dengan rasio.
c.
Tingkat
filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya.
d.
Tingkatan
religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati
oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.
Keempat
tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga
proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi
subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenaran
itu. Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya
ialah panca indra.
Kebenaran
itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebenaran
itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.
Ukuran
Kebenarannya :
§ Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia
untuk menemukan kebenaran.
§ Apa yang disebut benar oleh seseorang belum
tentu benar bagi orang lain.
§ Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau
kriteria kebenaran.
2. Jenis-jenis
Kebenaran.
Telaah
dalam filsafat ilmu, membawa orang kepada kebenaran dibagi dalam tiga jenis.
Menurut A.M.W. Pranarka (1987) tiga jenis Kebenaran itu adalah:
a.
Kebenaran
epstimologikal.
b.
Kebenaran
ontological.
c.
Kebenaran
semantikal.
Kebenaran
epstimogikal adalah pengertian kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan
manusia. Kadang disebut dengan istilah veritas cognition ataupunveritas
logica.
Kebenaran dalam
arti ontological adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada
segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Apabila dihubungkan dengan kebenaran
epstimologikal kadang-kadang disebut juga kebenaran sebagai sifat dasar yang
ada di dalam objek pengetahuan itu sendiri.
Adapun
kebenaran dalam arti semantikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di
dalam tutur kata dan bahasa. Kebenaran semantikal disebut juga kebenaran moral
(veritas moralis) karena apakah tutur kata dan bahasa itu mengkhianati atau
tidak terhadap kebenaran epstimologikal atau pun kebenaran ontological
tergantung kepada manusianya yang mempunyai kemerdekaan untuk menggunakan tutur
kata atau pun bahasa itu. Apabila kebenaran epstimologikal terletak di
dalam adanya kemanunggalan yang sesuai serasi terpadu antara apa yang
dinyatakan oleh proses cognitive intelektual manusia dengan apa yang
sesungguhnya ada di dalam objek (yang disebutesse reale rei), apakah itu
konkret atau abstrak, maka implikasinya bahwa di dalamesse reale
rei tersebut memang terkandung suatu sifat intelligibilitas (dapat
diketahui kebenarannya). Hal adanya intelligibilitas sebagai kodrat yang
melekat di dalam objek, di dalam benda, barang, makhluk dan sebagainya sebagai
objek potensial maupun riil dari pengetahuan cognitif intelektual
manusia itulah yang disebut kebenaran ontological, ialah sifat benar yang
melekat di dalam objek.
3. Teori-Teori
Kebenaran.
a.
Teori
Corespondence
Masalah
kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita obyek
(informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek
(ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan
kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.
Teori
korespodensi (corespondence theory of truth) menerangkan bahwa kebenaran atau
sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang
dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh
pernyataan atau pendapat tersebut.
Kebenaran
adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselarasan dengan realitas
yang serasi dengan situasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu
yaitu :
§ Statement (pernyataan)
§ Persesuaian (agreemant)
§ Situasi (situation)
§ Kenyataan (realitas)
§ Putusan (judgements)
Kebenaran
adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan).
Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristoteles dan moore
dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik,
serta oleh Bernard Russel pada abad moderen.
Cara
berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori
kebenaran menurut corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga
pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian
moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai
moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam
tingkah lakunya.
Artinya
anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral
itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di
dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau
tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standar atau asas normatif bagi
tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku,
harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek,
nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
Misalnya
pengetahuan `air akan menguap jika dipanasi sampai dengan 100 derajat`.
Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau kemudian dicoba memanasi air dan
diukur sampai seratus derajat, apakah air menguap! Jika terbukti tidak menguap
maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah, dan jika terbukti air menguap, maka
pengetahuan tersebut dinyatakan benar.
b.
Teori
Consistency
Teori
ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan
eksperimen dianggap relible jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu
penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan
penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
Menurut
teori consistency untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas
hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan
subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada
subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu
realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman
subyek lain. Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang
sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang.
Teori
konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini
lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dan kelanjutan
yang teliti dari teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan
dari arti kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test)
atas arti kebenaran tadi.
Teori
koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila
di dalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengan
pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu
pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan
yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya. Rumusan
kebenaran adalah truth is a sistematis coherence dan truth is consistency. Jika
A = B dan B = C maka A = C
Logika
matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini
menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga
benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
Teori
ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza
dan George Hegel. Suatu teori dianggap benar apabila telah dibuktikan
(klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data
terbaru yang benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur
atau batal dengan sendirinya. Sebagai contoh, kita mempunyai pengetahuan bahwa runtuhnya
kerajaan Majapahit adalah tahun 1478. Dalam hal ini kita tidak dapat
membuktikan secara langsung dari isi pengetahuan itu, melainkan hanya dapat
membuktikan melalui hubungan dengan proposi yang terdahulu, baik dalam
buku-buku sejarah atau peniggalan sejarah yang mengungkapkan kejadian itu.
c.
Teori
Pragmatisme
Paragmatisme
menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode
project atau metode problem solving di dalam pengajaran. Mereka akan
benar-benar, hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada.
Artinya sesuatu itu benar, jika mengembalikan pribadi manusia di dalam
keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama
pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini
manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu
menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak,
teori ini salah.
Jika
teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu
benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar
(kebenaran). Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap
suatu pernyataan, teori atau dalil itu memiliki kebenaran bila memiliki
kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.
Kaum
pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat
dikerjakan (workobility) dan akibat yang memuaskan (satisfaktor consequence).
Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung
pada manfaat dan akibatnya.
Akibat
/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
§ Sesuai dengan keinginan dan tujuan
§ Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen
§ Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk
tetap eksis (ada)
Teori
ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsuf Amerika, tokohnya adalah
Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey
(1852-1859).
Wiliam
James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsekuensi,
pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsekuensi tidaklah terletak di
dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya
setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori
korepondensi) atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita
(teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuatu melalui praktek di dalam
program problem solving. Misal pengetahuan naik bis, lalu akan turun dan bilang
kepada kondektur `kiri`, kemudian bis berhenti diposisi kiri. Dengan berhenti
di posisi kiri, penumpang bias turun dengan selamat. Jadi mengukur kebenaran
bukan dilihat bukan karena bis berhenti di posisi kiri, namun penumpang bias
turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.
d.
Kebenaran
Religius
Kebenaran
adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan
realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.
Kebenaran
tak cukup hanya diukur dengan rasio dan kemauan individu. Kebenaran bersifat
objective, universal, berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini
secara ontologis dan axiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui
wahyu.
Nilai
kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat
super rasional dan super individual. Bahkan bagi kaum religius kebenaran illahi
ini adalah kebenaran tertinggi, dimana semua kebenaran (kebenaran indera,
kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah
kebenaran ini :
Agama
sebagai teori kebenaran, Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat,
budi, fakta, realitas dan kegunaan sebagai landasannya. Dalam teori kebenaran
agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sebagai makluk pencari
kebenaran, manusia mencari dan menemukan kebenaran melalui agama. Dengan
demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran agama
atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Agama dengan kitab suci dan
haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk
kebenaran.
e.
Teori
kebenaran berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
Proposi
itu ditinjau dari segi artinya atau maknanya. Apakah proposisi yang merupakan
pangkal tumpunya itu mempunyai referen yang jelas. Oleh sebab itu, teori ini
mempunyai tugas untuk menguakkan kesahan dari proposisi dalam
referensinya. Teori kebenaran semantik dianut oleh paham filsafat
analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russel sebagai tokoh
pemula dari filsafat Analitika Bahasa. Misalnya filsafat secara etimologi
berasal dari bahasa Yunani philosophia yang berarti cinta akan
kebijaksanaan. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau ada referensi yang
jelas. Jika tidak mempunyai referensi yang jelas maka pengetahuan tersebut
salah.
f.
Teori
kebenaran sintaksis
Para
penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis
atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang
melekatnya. Dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar apabila
pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata
lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang
disyaratkan maka proposisi tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang di antara
filsuf analisis bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian
gramatika. Misalnya suatu kalimat standar harus ada subjek dan predikat. Jika
kalimat tidak ada subjek maka kalimat itu dinyatakan tidak baku atau bukan
kalimat. Seperti `semua korupsi` ini bukan kalimat standar karena tidak ada
subjeknya.
g.
Teori
kebenaran nondeskripsi
Teori
kebenaran non deskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme.
Karena pada dasarnya suatu statement atau pernyataan akan mempunyai nilai benar
yang amat tergantung pada peran dan fungsi dari pernyataan itu. Jadi,
pengetahuan akan memiliki niali benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi
yang amat praktis dalam kehidupan sehari- hari.
h.
Teori
kebenaran logic yang berlebihan (Logical superfluity of truth)
Teori
ini dikembangkan oleh kaum positivistik yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya
menurut teori ini, problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan
hal ini mengakibatkan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa yang hendak
dibuktikan kebenarannya memiliki drajat logis yang masing-masing saling
melingkupinya.
4. Analisis
kebenaran dalam pendidikan
Secara epistemologis, kebenaran pendidikan menunjuk hasil dari
seluruh rangkaian kegiatan pendidikan. Jika bentuk dan materi pendidikan terpadu
maka pendidikan itu benar adanya.
Pendidikan sekolah menyelenggarakan kegiatan pembelajaran
secara keilmuan untuk mencapai kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah adalah
landasan terbentuknya watak da sikap ilmiah. Masyarakat terbuka bersifat monopluralistik,
dimana potensi individual menyublin dalam wujud dan bentuk kesatuan menyeluruh
yang dinamis, merdeka dan otonom.
Salah satu ciri masyarakat terdidik adalah cenderung produktif
dalam perekonomian, ketertiban sosial menurut peraturan hukum, bidang kesehatan
dalam hal ini pelayanan publik dan bidang penyelenggaraan pendidikan.
Dalam kehidupan masyarakat terdidik, kegiatan politik diselenggarakan secara benar menurut estimologi pendidikan dan penyelenggaraan kegiatan pendidikan menganut sistem terbuka.
Dalam kehidupan masyarakat terdidik, kegiatan politik diselenggarakan secara benar menurut estimologi pendidikan dan penyelenggaraan kegiatan pendidikan menganut sistem terbuka.
Melalui pemahan tentang objek pendidikan, maka wawasan
pendidikan dan kehidupan menjadi semakin terbuka lebar. Jika wawasan pendidikan
bersenyawa dengan nilai kebenaran pendidikan akan tertanam kuat dan akan
membentuk sikap keterdidikan yang diharapkan.
D. SASARAN ETIKA PENDIDIKAN
1. Etika Hakikat Nilai Kebaikan
Ada tiga jenis nilai yang
dipersoalkan yaitu nilai keindahan, nilai kebenaran dan kebaikan. Nilai
keindahan dalam cabang filsafat estetika, nilai kebaikan dalam filsafat
epistemologi dan nilai kebaikan dalam filsafat etika.
Etika adalah suatu studi filosofis mengenai moral. Berdasarkan pada sistematika filsafat, nilai keindahan, kebenaran dan kebaikan berada saling berhubungan secara integral menurut hokum kausalitas. Yang bernilai baik seharusnya benar dan indah, yang bernilai benar seharusnya baik dan indah, dan yang bernilai indah seharusnya benar dan baik.
Etika adalah suatu studi filosofis mengenai moral. Berdasarkan pada sistematika filsafat, nilai keindahan, kebenaran dan kebaikan berada saling berhubungan secara integral menurut hokum kausalitas. Yang bernilai baik seharusnya benar dan indah, yang bernilai benar seharusnya baik dan indah, dan yang bernilai indah seharusnya benar dan baik.
Pada hakikatnya kehidupan ini indah, ketika semua pihak
bekerjasama saling tolong-menolong, saling memberi dalam ikatan kebersamaan yang
harmonis. Hakikat nilai kebaikan itu berada di dalam perilaku.
2. Sasaran Etika Pendidikan
Kecerdasan emosional adalah
sebuah perilaku yang dibangun menurut dasar ontologism dan epistemologis
pendidikan. Bentuk dan wujud kecerdasan emosional adalah kemampuan
mengendalikan diri untuk tidak melampaui batas.
Di dalam keluarga
pengembangan kecerdasan emosional sangat bergantung pada kualitas pendidikan
orang tua. Selanjutnya sekolah berkepentingan membangun criteria kecerdasan
emosional, dan masyarakat merupakan tempat perbaikan perilaku moral setiap
individu untuk menjadi cerdas.
DAFTAR
PUSTAKA
https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:chN0K0LZOWkJ:blog.tp.ac.id/pdf/tag/ontologipendidikan.pdf
A.
FILSAFAT PENDIDIKAN MENURUT
KI HAJAR DEWANTARA
1. Biografi Ki Hajar Dewantara
Ki Hadjar
Dewantara (Yogyakarta, 2
Mei 1889–26 April 1959) adalah seorang pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia pada zaman
penjajahan Belanda. Lahir dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat, beliau mendirikan
perguruan Taman Siswa yang memberikan
kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh pendidikan seperti halnya
para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Beliau wafat pada 26 April 1959 dan dimakamkan di Wijayabrata, Yogyakarta. Tanggal lahirnya, 2 Mei, kemudian dijadikan Hari Pendidikan Nasional di
Indonesia. Beliau dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia dan wajahnya bisa
dilihat pada uang kertas pecahan Rp20.000. Nama beliau diabadikan sebagai salah
sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara.
Selain itu, sampai saat ini perguruan Taman Siswa yang beliau dirikan masih ada
dan telah memiliki sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Banyak karya beliau yang menjadi landasan rakyat
Indonesia dalam mengembangkan pendidikan, khususnya kalimat filosofis (selain
dari konsep 3 dinding diatas) seperti ING NGARSO SUNTOLODO, ING MADYO MANGUN
KARSO, TUT WURI HANDAYANI (Di depan memberi teladan, di tengah memberi
bimbingan, di belakang memberi dorongan). Semboyannya yang paling terkenal
yaitu “tut wuri handayani” yang selalu tertempel di topi, dasi, dan tidak
jarang juga di dada setiap siswa siswi Indonesia dari SD sampai SMU.
Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa pada
tahun 1922 di Yogyakarta. Sebuah lembaga yang pertama kali menjadi motivator
bagi warga negara Indonesia demi melanjutkan kemerdekaan yang akan menjadi
proses kemerdekaan kita saat ini. Sejak awal Taman Siswa memiliki semboyan yang
tertera diatas. Semboyan yang sering dipertanyakan oleh berbagai peserta didik
saat ini. Apa yang terkandung dalam semboyan yang menjadi dasar filosofi
pendidikan yang dibuat oleh Ki Hajar Dewantara.
2. Pemikiran Ki Hajar
Dewantara
Berbagai macam cara yang dilakukan Ki Hajar dewantara
demi memperjuangkan kemerdekaan pendidikan Indonesia. Salah satunya dengan
seringnya mengubah namanya sediri. Hal tersebut dimasudkan untuk menunjukkan
perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke
pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru
spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk
melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya
menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian
menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik
untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan
sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure
keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu,
nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan
kebaikan, keluhuran, keutamaan.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah
tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak- anak. Adapun tujuannya adalah menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia
dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya. Dengan berbagai ide yang dimiliki dari Ki Hajar Dewantara
ada satu konsep yang terlupakan. Ki Hajar pernah melontarkan
konsep belajar 3 dinding. Kalau kita mengingat masa lalu ketika masih di
bangku sekolah, bentuk ruang kelas kita rata-rata adalah persegi empat. Nah, Ki
Hajar menyarankan ruang kelas itu hanya dibangun 3 sisi dinding saja. Ada satu
sisi yang terbuka. Konsep ini bukan main-main filosofinya. Dengan ada satu
dinding yang terbuka, maka seolah hendak menegaskan tidak ada batas atau jarak
antara di dalam kelas dengan realita di luar.
1.
Tujuan
pendidikan
Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan
pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan
manusia atau menjadikan manusia/peserta didik kian beradab dan memiliki
keadaban (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju
untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta
didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya.
Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
Selain itu pendidikan juga merupakan
sarana untuk memperbaharui diri. Tanpa pendidikan, kita akan terperangkap hidup
pada masa lalu. Itu sebabnya pakar kepemimpinan Manfred Kets De Vries mencatat,
salah satu penghalang bagi manusia untuk memperbaharui diri adalah karena
selalu merupakan produksi masa lalu. Jika hingga saat ini pendidikan hanya
dimengerti sebagai pengajaran sebagaimana telah terjadi selama ini, maka kita
juga tidak akan pernah berubah. Akibatnya kita akan selalu menjadi produk masa
lalu yang tidak beruntung.
2. Hakekat
pendidikan
Ki
Hadjar Dewantara membedakan antara sistem “Pengajaran” dan
“Pendidikan”. Menurutnya pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari
aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih
memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil
keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Manusia merdeka itu adalah manusia
yang hidupnya secara lahir dan batin tidak tergantung kepada orang lain, akan
tetapi ia mampu bersandar dan berdiri di atas kakinya sendiri. Artinya
sistem pendidikan itu mampu menjadikan setiap individu hidup mandiri dan berani
berpikir sendiri atau memakai istilah Kant, sapere aude. Dalam
arti luas maksud pendidikan dan pengajaran adalah bagaimana memerdekakan manusia
sebagai anggota dari sebuah persatuan (rakyat). Kemerdekaan yang dimaksud
adalah kemerdekaan yang bersifat dewasa dan menjunjung tinggi nilai-nilai hidup
bersama. Oleh karena itu, setiap orang merdeka harus memperhatikan dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana ia hidup. Dalam hal ini harus
menyadari bahwa setiap individu juga memiliki hak yang sama seperti dirinya
yang juga berhak menuntut kemerdekaanya.
Dapat
disimpulkan bahwa menurut KHD pendidikan yang sesungguhnya adalah menyangkut
jiwa dan raga setiap individu untuk semakin dewasa dan mandiri. Pendidikan di
sini termasuk lahir dan batin. Serta pendidikan harus melibatkan pertimbangan
kemanusiaan dan selaras dengan nilai-nilai hakiki yang ada dalam diri setiap
peserta didik.
3. Metode
Pendidikan
Dalam
pemikiran kihajar dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan
ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan
pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala,
hati dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the hand).
Among mempunyai
pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang. Pelaksana
“among” (momong) disebut Pamong, yang mempunyai kepandaian dan pengalaman lebih
dari yang diamong. Guru atau dosen di Tamansiswa disebut pamong yang bertugas
mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu. Tujuan sistem among membangun anak
didik menjadi manusia beriman dan bertakwa, merdeka lahir batin, budi pekerti
luhur, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani rohani agar menjadi
anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah
air serta manusia pada umumnya.
Sistem among
mengharamkan hukuman disiplin dengan paksaan/kekerasan karena itu akan
menghilangkan jiwa merdeka anak. Sistem
Among dilaksanakan secara “tut wuri handayani” dimana kita dapat “menemukenali”
anak, bila perlu perilaku anak boleh dikoreksi (handayani) namun tetap
dilaksanakan dengan kasih sayang. Pendidikan yang beralaskan
paksaan-hukuman-ketertiban kita anggap memperkosa hidup kebatinan sang anak.
Yang kita pakai sebagai alat pendidikan yaitu pemeliharaan dengan sebesar
perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya
sendiri. Itulah yang kita namakan Among Methode.”
4.
Kurikulum Pendidikan
Mengenai kurikulum Ki Hajar belum
memberikan definisi kurikulum secara konkrit. Namun secara substansial sudah
tersirat, sebagaimana yang dikutip Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A dari buku Ki
Hajar Dewantara yang berjudul Bagian Pertama Pendidikan, menyatakan
pembagian pelajaran kepada dua bagian pertama, pelajaran yang selain memberikan
pengetahuan (kepandaian) yang berpengaruh pada kemajuan batin. Dalam artian
mematangkan pikiran, rasa, dan kemauan. Yang kedua, adalah pelajaran yang yang
memberi bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum;
yaitu pelajaran yang meliputi lapangan kultural dan kemasyarakatan.
Hal yang lainnya adalah bahwa Ki Hajar
Dewantara amat mementingkan pendidkan kanak-kanak, (sebagaiman yang di cantumkan
dalam asas taman siswa pasal 6) kesenian, kekeluargaan, keIndonesiaan,
kejiwaan, kesopanan, dan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing.
Dapat disimpulkan bahwa pandangan Ki
Hajar Dewantara mengenai Kurikulum pendidikan lebih banyak
mengarah kepada pembentukan kemampuan anak didik agar mandiri, merdeka namun
dapat mencerna pendidikan barat yang lebih bersifat intelektualitas dan
materalisme.
3. Pokok Pikiran Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara
Konsep
Ki Hajar Dewantara termasuk aliran filsafat pendidikan yang menganut definisi
pendidikan, apabila dilihat dari sudut aliran filsafat pendidikan
evolusionistis yang lebih menekankan tangga-tangga psikologis perkembangan
manusia. Suatu konsep pendidikan yang lebih mengarahkan orientasinya pada aspek-aspek
kehidupan modern yang kompleks dan rumit kaitannya, yang lebih individualisis
sehinga menuntut kemampuan individual masing-masing pribadi dalam mengadakan
penyesuaian kehidupan psikologsnya. Konsep tentang anthropologi filsafat kalau
tidak dirumuskan dalam definisi pendidikan dapat dicari pada rumusan tentang
tujuan pendidikannya. Sebagai contoh dalam sejarah pemikiran filsafat
pendidikan Indonesia, kita dikenalkan dengan salah satu rumusan tujuan
pendidikan sebagai berikut Membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara
yang demokratis serta bertanggung jawab atas kesejahteraan Negara dan tanah
air.
Dalam
rumusan ini hakekat manusia sebagai suatu aspek yang bernilai martabat yang
sama, sehinga yang satu tidak boleh mencaplok atau menghisap yang lain, artinya
manusia dihisap warga negara sehingga mengarah ke terhisapnya kepentingan
individu demi kepentingan dan kejayaan Negara, dan sebaliknya hilangnya aspek
warganegara dan mengarah ke individualisme yang otomistis. Suatu ilustrasi
tujuan pendidikan yang mengarah ke penghisapan individualitas manusia ke dalam
konsep warganegara adalah definisi pendidikan di bawah ini Pendidikan adalah
kegiatan atau proses dengan mana individual dibina agar loyal setia tanpa sarat
dan penyesuaian membuka pada kelompok atau individu.
B. PARADIGMA ONTOLOGI PENDIDIKAN
1. Pengertian ontologi
Ontologi merupakan salah satu
kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu
yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat
ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum
membedaan antara penampakan dengan kenyataan.
Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan
substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih
penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari
satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Hakekat kenyataan atau realitas memang
bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:
§ kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan
apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
§ Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan
apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti
misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan
sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara
kritis.Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme
Istilah istilah terpenting yang terkait
dengan ontologi adalah:
§ yang-ada (being)
§ kenyataan/realitas (reality)
§ eksistensi (existence)
§ esensi (essence)
§ substansi (substance)
§ perubahan (change)
§ tunggal (one)
§ jamak (many)
Ontologi
ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang
dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya).
Ontologis; cabang ini menguak tentang objek
apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ?
bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert
berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi
tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh
filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas
yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang
tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada
yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya
mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens
Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
2. Objek
formal ontologi
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh
realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau
jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi
aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme.
Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang
terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan
diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles
dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami
sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek
materialisme dari mental.
3. Metode
dalam ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan
abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan
abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas
sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang
menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan
prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas.
Abstraksi yang
dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode
pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu :
pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan
meletakkan term tengah berada
lebih dahulu dari predikat;
dan pada kesimpulan term tengah
menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh
:
Sesuatu yang
bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu
sesuatu yang lahiri (S-Tt)
Jadi, badan
itu fana’ (S-P)
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas
kesimpulan; dan term tengah
menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara
pembuktian a posterioris
disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh
:
Gigi geligi itu gigi geligi rahang
dinasaurus (Tt-S)
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan
tumbuhan (Tt-P)
Jadi,
Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)
Bandingkan
tata silogistik pembuktian a priori
dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan;
sedangkan yang a posteriori di
berangkatkan dari term tengah
di hubungkan dengan subjek, term
tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.
4. Sebuah Paradigma Ontologi Pendidikan
Secara ontologism, dikatakan
bahwa tanpa manusia pendidikan itu bukan apa-apa (nothing), sebaliknya tanpa
pendidikan mustahil manusia mampu mempertahankan kelangsungan dan mengembangkan
hidupnya.
Secara ontologis manusia berada dalam tiga tingkatan hakikat yaitu;
Secara ontologis manusia berada dalam tiga tingkatan hakikat yaitu;
§ Essensi abstark pendidikan.
Artinya pendidikan itu bersifat universal yaitu mutlak ada dan berlaku untuk
setiap manusia siapapun, kapanpun dan dimanapun.
§ Essensi potensial
pendidikan. Dalam hal ini manusia menjadi dirinya sendiri dimana ia menumbuh
kembangkan keceerdasan intelegensi sehingga terbentuk kepribadian yang kreatif.
Dimana ia dapat yekun, teliti dan terampil dalam menghadapi masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
§ Essensial konkret pendidikan.
Pada tingkatan ini pendidikan adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran akan
hakekatnya berdasarkan asal mula dan tujuan hidup manusia.
C. KEBENARAN
DALAM PENDIDIKAN
Manusia
selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya
terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan
pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan
mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan
manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup
yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan
dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
Pendidikan
pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk
menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua
orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan
kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai
nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau
martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Kebenaran
sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia.
Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah
hakekat kebenaran itu?
Jika
manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk
melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu
bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis.
Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada
kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada
pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum
universal.
1. Pengukuran definisi kebenaran
Apakah kebenaran itu? Inilah yang lebih
lanjut harus dihadapi di dalam filsafat ilmu. Hal kebenaran sesungguhnya
merupakan tema sentral di dalam filsafat ilmu. Secara umum orang merasa bahwa
tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran. Rasanya lebih tepat kalu
pertanyaan kemudian dirumuskan menjadi apakah pengetahuan yang benar itu
Problematika
mengenai kebenaran, seperti halnya problematic tentang pengetahuan, merupakan
masalah-masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadarminta
ditemukan arti kebenaran yakni:
a.
Keadaan
(hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang
sesungguhnya); misal, kebenaran beita ini masih saya sangsikan; kita harus
berani membelan kebenaran dan keadilan.
b.
Sesuatu
yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya);
misal, kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama.
c.
Kejujuran;
kelurusan hati; misal tidak ada seorang pun yang sangsi akan kebaikan dan
kebenaran hatimu.
d.
Selalu
izin; perkenaan; misal, dengan kebenaran yang dipertuan.
e.
Jalan
kebetulan; misal, penjahat itu dapat dibekuk dengan cara kebenaran saja.
Dalam
kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam
kepribadian dan kesadarannya tak mungkin tanpa kebenaran.
Berdasarkan
scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
a.
Tingkatan
kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhana dan pertama
yang dialami manusia.
b.
Tingkatan
ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indera, diolah
pula dengan rasio.
c.
Tingkat
filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya.
d.
Tingkatan
religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati
oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.
Keempat
tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga
proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi
subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenaran
itu. Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya
ialah panca indra.
Kebenaran
itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebenaran
itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.
Ukuran
Kebenarannya :
§ Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia
untuk menemukan kebenaran.
§ Apa yang disebut benar oleh seseorang belum
tentu benar bagi orang lain.
§ Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau
kriteria kebenaran.
2. Jenis-jenis
Kebenaran.
Telaah
dalam filsafat ilmu, membawa orang kepada kebenaran dibagi dalam tiga jenis.
Menurut A.M.W. Pranarka (1987) tiga jenis Kebenaran itu adalah:
a.
Kebenaran
epstimologikal.
b.
Kebenaran
ontological.
c.
Kebenaran
semantikal.
Kebenaran
epstimogikal adalah pengertian kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan
manusia. Kadang disebut dengan istilah veritas cognition ataupunveritas
logica.
Kebenaran dalam
arti ontological adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada
segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Apabila dihubungkan dengan kebenaran
epstimologikal kadang-kadang disebut juga kebenaran sebagai sifat dasar yang
ada di dalam objek pengetahuan itu sendiri.
Adapun
kebenaran dalam arti semantikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di
dalam tutur kata dan bahasa. Kebenaran semantikal disebut juga kebenaran moral
(veritas moralis) karena apakah tutur kata dan bahasa itu mengkhianati atau
tidak terhadap kebenaran epstimologikal atau pun kebenaran ontological
tergantung kepada manusianya yang mempunyai kemerdekaan untuk menggunakan tutur
kata atau pun bahasa itu. Apabila kebenaran epstimologikal terletak di
dalam adanya kemanunggalan yang sesuai serasi terpadu antara apa yang
dinyatakan oleh proses cognitive intelektual manusia dengan apa yang
sesungguhnya ada di dalam objek (yang disebutesse reale rei), apakah itu
konkret atau abstrak, maka implikasinya bahwa di dalamesse reale
rei tersebut memang terkandung suatu sifat intelligibilitas (dapat
diketahui kebenarannya). Hal adanya intelligibilitas sebagai kodrat yang
melekat di dalam objek, di dalam benda, barang, makhluk dan sebagainya sebagai
objek potensial maupun riil dari pengetahuan cognitif intelektual
manusia itulah yang disebut kebenaran ontological, ialah sifat benar yang
melekat di dalam objek.
3. Teori-Teori
Kebenaran.
a.
Teori
Corespondence
Masalah
kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita obyek
(informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek
(ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan
kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.
Teori
korespodensi (corespondence theory of truth) menerangkan bahwa kebenaran atau
sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang
dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh
pernyataan atau pendapat tersebut.
Kebenaran
adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselarasan dengan realitas
yang serasi dengan situasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu
yaitu :
§ Statement (pernyataan)
§ Persesuaian (agreemant)
§ Situasi (situation)
§ Kenyataan (realitas)
§ Putusan (judgements)
Kebenaran
adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan).
Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristoteles dan moore
dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik,
serta oleh Bernard Russel pada abad moderen.
Cara
berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori
kebenaran menurut corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga
pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian
moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai
moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam
tingkah lakunya.
Artinya
anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral
itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di
dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau
tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standar atau asas normatif bagi
tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku,
harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek,
nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
Misalnya
pengetahuan `air akan menguap jika dipanasi sampai dengan 100 derajat`.
Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau kemudian dicoba memanasi air dan
diukur sampai seratus derajat, apakah air menguap! Jika terbukti tidak menguap
maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah, dan jika terbukti air menguap, maka
pengetahuan tersebut dinyatakan benar.
b.
Teori
Consistency
Teori
ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan
eksperimen dianggap relible jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu
penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan
penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
Menurut
teori consistency untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas
hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan
subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada
subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu
realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman
subyek lain. Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang
sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang.
Teori
konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini
lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dan kelanjutan
yang teliti dari teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan
dari arti kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test)
atas arti kebenaran tadi.
Teori
koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila
di dalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengan
pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu
pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan
yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya. Rumusan
kebenaran adalah truth is a sistematis coherence dan truth is consistency. Jika
A = B dan B = C maka A = C
Logika
matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini
menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga
benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
Teori
ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza
dan George Hegel. Suatu teori dianggap benar apabila telah dibuktikan
(klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data
terbaru yang benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur
atau batal dengan sendirinya. Sebagai contoh, kita mempunyai pengetahuan bahwa runtuhnya
kerajaan Majapahit adalah tahun 1478. Dalam hal ini kita tidak dapat
membuktikan secara langsung dari isi pengetahuan itu, melainkan hanya dapat
membuktikan melalui hubungan dengan proposi yang terdahulu, baik dalam
buku-buku sejarah atau peniggalan sejarah yang mengungkapkan kejadian itu.
c.
Teori
Pragmatisme
Paragmatisme
menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode
project atau metode problem solving di dalam pengajaran. Mereka akan
benar-benar, hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada.
Artinya sesuatu itu benar, jika mengembalikan pribadi manusia di dalam
keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama
pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini
manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu
menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak,
teori ini salah.
Jika
teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu
benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar
(kebenaran). Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap
suatu pernyataan, teori atau dalil itu memiliki kebenaran bila memiliki
kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.
Kaum
pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat
dikerjakan (workobility) dan akibat yang memuaskan (satisfaktor consequence).
Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung
pada manfaat dan akibatnya.
Akibat
/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
§ Sesuai dengan keinginan dan tujuan
§ Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen
§ Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk
tetap eksis (ada)
Teori
ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsuf Amerika, tokohnya adalah
Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey
(1852-1859).
Wiliam
James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsekuensi,
pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsekuensi tidaklah terletak di
dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya
setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori
korepondensi) atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita
(teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuatu melalui praktek di dalam
program problem solving. Misal pengetahuan naik bis, lalu akan turun dan bilang
kepada kondektur `kiri`, kemudian bis berhenti diposisi kiri. Dengan berhenti
di posisi kiri, penumpang bias turun dengan selamat. Jadi mengukur kebenaran
bukan dilihat bukan karena bis berhenti di posisi kiri, namun penumpang bias
turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.
d.
Kebenaran
Religius
Kebenaran
adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan
realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.
Kebenaran
tak cukup hanya diukur dengan rasio dan kemauan individu. Kebenaran bersifat
objective, universal, berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini
secara ontologis dan axiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui
wahyu.
Nilai
kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat
super rasional dan super individual. Bahkan bagi kaum religius kebenaran illahi
ini adalah kebenaran tertinggi, dimana semua kebenaran (kebenaran indera,
kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah
kebenaran ini :
Agama
sebagai teori kebenaran, Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat,
budi, fakta, realitas dan kegunaan sebagai landasannya. Dalam teori kebenaran
agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sebagai makluk pencari
kebenaran, manusia mencari dan menemukan kebenaran melalui agama. Dengan
demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran agama
atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Agama dengan kitab suci dan
haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk
kebenaran.
e.
Teori
kebenaran berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
Proposi
itu ditinjau dari segi artinya atau maknanya. Apakah proposisi yang merupakan
pangkal tumpunya itu mempunyai referen yang jelas. Oleh sebab itu, teori ini
mempunyai tugas untuk menguakkan kesahan dari proposisi dalam
referensinya. Teori kebenaran semantik dianut oleh paham filsafat
analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russel sebagai tokoh
pemula dari filsafat Analitika Bahasa. Misalnya filsafat secara etimologi
berasal dari bahasa Yunani philosophia yang berarti cinta akan
kebijaksanaan. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau ada referensi yang
jelas. Jika tidak mempunyai referensi yang jelas maka pengetahuan tersebut
salah.
f.
Teori
kebenaran sintaksis
Para
penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis
atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang
melekatnya. Dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar apabila
pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata
lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang
disyaratkan maka proposisi tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang di antara
filsuf analisis bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian
gramatika. Misalnya suatu kalimat standar harus ada subjek dan predikat. Jika
kalimat tidak ada subjek maka kalimat itu dinyatakan tidak baku atau bukan
kalimat. Seperti `semua korupsi` ini bukan kalimat standar karena tidak ada
subjeknya.
g.
Teori
kebenaran nondeskripsi
Teori
kebenaran non deskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme.
Karena pada dasarnya suatu statement atau pernyataan akan mempunyai nilai benar
yang amat tergantung pada peran dan fungsi dari pernyataan itu. Jadi,
pengetahuan akan memiliki niali benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi
yang amat praktis dalam kehidupan sehari- hari.
h.
Teori
kebenaran logic yang berlebihan (Logical superfluity of truth)
Teori
ini dikembangkan oleh kaum positivistik yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya
menurut teori ini, problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan
hal ini mengakibatkan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa yang hendak
dibuktikan kebenarannya memiliki drajat logis yang masing-masing saling
melingkupinya.
4. Analisis
kebenaran dalam pendidikan
Secara epistemologis, kebenaran pendidikan menunjuk hasil dari
seluruh rangkaian kegiatan pendidikan. Jika bentuk dan materi pendidikan terpadu
maka pendidikan itu benar adanya.
Pendidikan sekolah menyelenggarakan kegiatan pembelajaran
secara keilmuan untuk mencapai kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah adalah
landasan terbentuknya watak da sikap ilmiah. Masyarakat terbuka bersifat monopluralistik,
dimana potensi individual menyublin dalam wujud dan bentuk kesatuan menyeluruh
yang dinamis, merdeka dan otonom.
Salah satu ciri masyarakat terdidik adalah cenderung produktif
dalam perekonomian, ketertiban sosial menurut peraturan hukum, bidang kesehatan
dalam hal ini pelayanan publik dan bidang penyelenggaraan pendidikan.
Dalam kehidupan masyarakat terdidik, kegiatan politik diselenggarakan secara benar menurut estimologi pendidikan dan penyelenggaraan kegiatan pendidikan menganut sistem terbuka.
Dalam kehidupan masyarakat terdidik, kegiatan politik diselenggarakan secara benar menurut estimologi pendidikan dan penyelenggaraan kegiatan pendidikan menganut sistem terbuka.
Melalui pemahan tentang objek pendidikan, maka wawasan
pendidikan dan kehidupan menjadi semakin terbuka lebar. Jika wawasan pendidikan
bersenyawa dengan nilai kebenaran pendidikan akan tertanam kuat dan akan
membentuk sikap keterdidikan yang diharapkan.
D. SASARAN ETIKA PENDIDIKAN
1. Etika Hakikat Nilai Kebaikan
Ada tiga jenis nilai yang
dipersoalkan yaitu nilai keindahan, nilai kebenaran dan kebaikan. Nilai
keindahan dalam cabang filsafat estetika, nilai kebaikan dalam filsafat
epistemologi dan nilai kebaikan dalam filsafat etika.
Etika adalah suatu studi filosofis mengenai moral. Berdasarkan pada sistematika filsafat, nilai keindahan, kebenaran dan kebaikan berada saling berhubungan secara integral menurut hokum kausalitas. Yang bernilai baik seharusnya benar dan indah, yang bernilai benar seharusnya baik dan indah, dan yang bernilai indah seharusnya benar dan baik.
Etika adalah suatu studi filosofis mengenai moral. Berdasarkan pada sistematika filsafat, nilai keindahan, kebenaran dan kebaikan berada saling berhubungan secara integral menurut hokum kausalitas. Yang bernilai baik seharusnya benar dan indah, yang bernilai benar seharusnya baik dan indah, dan yang bernilai indah seharusnya benar dan baik.
Pada hakikatnya kehidupan ini indah, ketika semua pihak
bekerjasama saling tolong-menolong, saling memberi dalam ikatan kebersamaan yang
harmonis. Hakikat nilai kebaikan itu berada di dalam perilaku.
2. Sasaran Etika Pendidikan
Kecerdasan emosional adalah
sebuah perilaku yang dibangun menurut dasar ontologism dan epistemologis
pendidikan. Bentuk dan wujud kecerdasan emosional adalah kemampuan
mengendalikan diri untuk tidak melampaui batas.
Di dalam keluarga
pengembangan kecerdasan emosional sangat bergantung pada kualitas pendidikan
orang tua. Selanjutnya sekolah berkepentingan membangun criteria kecerdasan
emosional, dan masyarakat merupakan tempat perbaikan perilaku moral setiap
individu untuk menjadi cerdas.
DAFTAR
PUSTAKA
https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:chN0K0LZOWkJ:blog.tp.ac.id/pdf/tag/ontologipendidikan.pdf
A.
FILSAFAT PENDIDIKAN MENURUT
KI HAJAR DEWANTARA
1. Biografi Ki Hajar Dewantara
Ki Hadjar
Dewantara (Yogyakarta, 2
Mei 1889–26 April 1959) adalah seorang pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia pada zaman
penjajahan Belanda. Lahir dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat, beliau mendirikan
perguruan Taman Siswa yang memberikan
kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh pendidikan seperti halnya
para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Beliau wafat pada 26 April 1959 dan dimakamkan di Wijayabrata, Yogyakarta. Tanggal lahirnya, 2 Mei, kemudian dijadikan Hari Pendidikan Nasional di
Indonesia. Beliau dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia dan wajahnya bisa
dilihat pada uang kertas pecahan Rp20.000. Nama beliau diabadikan sebagai salah
sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara.
Selain itu, sampai saat ini perguruan Taman Siswa yang beliau dirikan masih ada
dan telah memiliki sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Banyak karya beliau yang menjadi landasan rakyat
Indonesia dalam mengembangkan pendidikan, khususnya kalimat filosofis (selain
dari konsep 3 dinding diatas) seperti ING NGARSO SUNTOLODO, ING MADYO MANGUN
KARSO, TUT WURI HANDAYANI (Di depan memberi teladan, di tengah memberi
bimbingan, di belakang memberi dorongan). Semboyannya yang paling terkenal
yaitu “tut wuri handayani” yang selalu tertempel di topi, dasi, dan tidak
jarang juga di dada setiap siswa siswi Indonesia dari SD sampai SMU.
Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa pada
tahun 1922 di Yogyakarta. Sebuah lembaga yang pertama kali menjadi motivator
bagi warga negara Indonesia demi melanjutkan kemerdekaan yang akan menjadi
proses kemerdekaan kita saat ini. Sejak awal Taman Siswa memiliki semboyan yang
tertera diatas. Semboyan yang sering dipertanyakan oleh berbagai peserta didik
saat ini. Apa yang terkandung dalam semboyan yang menjadi dasar filosofi
pendidikan yang dibuat oleh Ki Hajar Dewantara.
2. Pemikiran Ki Hajar
Dewantara
Berbagai macam cara yang dilakukan Ki Hajar dewantara
demi memperjuangkan kemerdekaan pendidikan Indonesia. Salah satunya dengan
seringnya mengubah namanya sediri. Hal tersebut dimasudkan untuk menunjukkan
perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke
pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru
spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk
melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya
menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian
menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik
untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan
sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure
keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu,
nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan
kebaikan, keluhuran, keutamaan.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah
tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak- anak. Adapun tujuannya adalah menuntun
segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia
dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan
setinggi-tingginya. Dengan berbagai ide yang dimiliki dari Ki Hajar Dewantara
ada satu konsep yang terlupakan. Ki Hajar pernah melontarkan
konsep belajar 3 dinding. Kalau kita mengingat masa lalu ketika masih di
bangku sekolah, bentuk ruang kelas kita rata-rata adalah persegi empat. Nah, Ki
Hajar menyarankan ruang kelas itu hanya dibangun 3 sisi dinding saja. Ada satu
sisi yang terbuka. Konsep ini bukan main-main filosofinya. Dengan ada satu
dinding yang terbuka, maka seolah hendak menegaskan tidak ada batas atau jarak
antara di dalam kelas dengan realita di luar.
1.
Tujuan
pendidikan
Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan
pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan
manusia atau menjadikan manusia/peserta didik kian beradab dan memiliki
keadaban (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju
untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta
didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya.
Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
Selain itu pendidikan juga merupakan
sarana untuk memperbaharui diri. Tanpa pendidikan, kita akan terperangkap hidup
pada masa lalu. Itu sebabnya pakar kepemimpinan Manfred Kets De Vries mencatat,
salah satu penghalang bagi manusia untuk memperbaharui diri adalah karena
selalu merupakan produksi masa lalu. Jika hingga saat ini pendidikan hanya
dimengerti sebagai pengajaran sebagaimana telah terjadi selama ini, maka kita
juga tidak akan pernah berubah. Akibatnya kita akan selalu menjadi produk masa
lalu yang tidak beruntung.
2. Hakekat
pendidikan
Ki
Hadjar Dewantara membedakan antara sistem “Pengajaran” dan
“Pendidikan”. Menurutnya pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari
aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih
memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil
keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Manusia merdeka itu adalah manusia
yang hidupnya secara lahir dan batin tidak tergantung kepada orang lain, akan
tetapi ia mampu bersandar dan berdiri di atas kakinya sendiri. Artinya
sistem pendidikan itu mampu menjadikan setiap individu hidup mandiri dan berani
berpikir sendiri atau memakai istilah Kant, sapere aude. Dalam
arti luas maksud pendidikan dan pengajaran adalah bagaimana memerdekakan manusia
sebagai anggota dari sebuah persatuan (rakyat). Kemerdekaan yang dimaksud
adalah kemerdekaan yang bersifat dewasa dan menjunjung tinggi nilai-nilai hidup
bersama. Oleh karena itu, setiap orang merdeka harus memperhatikan dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana ia hidup. Dalam hal ini harus
menyadari bahwa setiap individu juga memiliki hak yang sama seperti dirinya
yang juga berhak menuntut kemerdekaanya.
Dapat
disimpulkan bahwa menurut KHD pendidikan yang sesungguhnya adalah menyangkut
jiwa dan raga setiap individu untuk semakin dewasa dan mandiri. Pendidikan di
sini termasuk lahir dan batin. Serta pendidikan harus melibatkan pertimbangan
kemanusiaan dan selaras dengan nilai-nilai hakiki yang ada dalam diri setiap
peserta didik.
3. Metode
Pendidikan
Dalam
pemikiran kihajar dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan
ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan
pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala,
hati dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the hand).
Among mempunyai
pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang. Pelaksana
“among” (momong) disebut Pamong, yang mempunyai kepandaian dan pengalaman lebih
dari yang diamong. Guru atau dosen di Tamansiswa disebut pamong yang bertugas
mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu. Tujuan sistem among membangun anak
didik menjadi manusia beriman dan bertakwa, merdeka lahir batin, budi pekerti
luhur, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani rohani agar menjadi
anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah
air serta manusia pada umumnya.
Sistem among
mengharamkan hukuman disiplin dengan paksaan/kekerasan karena itu akan
menghilangkan jiwa merdeka anak. Sistem
Among dilaksanakan secara “tut wuri handayani” dimana kita dapat “menemukenali”
anak, bila perlu perilaku anak boleh dikoreksi (handayani) namun tetap
dilaksanakan dengan kasih sayang. Pendidikan yang beralaskan
paksaan-hukuman-ketertiban kita anggap memperkosa hidup kebatinan sang anak.
Yang kita pakai sebagai alat pendidikan yaitu pemeliharaan dengan sebesar
perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya
sendiri. Itulah yang kita namakan Among Methode.”
4.
Kurikulum Pendidikan
Mengenai kurikulum Ki Hajar belum
memberikan definisi kurikulum secara konkrit. Namun secara substansial sudah
tersirat, sebagaimana yang dikutip Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A dari buku Ki
Hajar Dewantara yang berjudul Bagian Pertama Pendidikan, menyatakan
pembagian pelajaran kepada dua bagian pertama, pelajaran yang selain memberikan
pengetahuan (kepandaian) yang berpengaruh pada kemajuan batin. Dalam artian
mematangkan pikiran, rasa, dan kemauan. Yang kedua, adalah pelajaran yang yang
memberi bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum;
yaitu pelajaran yang meliputi lapangan kultural dan kemasyarakatan.
Hal yang lainnya adalah bahwa Ki Hajar
Dewantara amat mementingkan pendidkan kanak-kanak, (sebagaiman yang di cantumkan
dalam asas taman siswa pasal 6) kesenian, kekeluargaan, keIndonesiaan,
kejiwaan, kesopanan, dan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing.
Dapat disimpulkan bahwa pandangan Ki
Hajar Dewantara mengenai Kurikulum pendidikan lebih banyak
mengarah kepada pembentukan kemampuan anak didik agar mandiri, merdeka namun
dapat mencerna pendidikan barat yang lebih bersifat intelektualitas dan
materalisme.
3. Pokok Pikiran Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara
Konsep
Ki Hajar Dewantara termasuk aliran filsafat pendidikan yang menganut definisi
pendidikan, apabila dilihat dari sudut aliran filsafat pendidikan
evolusionistis yang lebih menekankan tangga-tangga psikologis perkembangan
manusia. Suatu konsep pendidikan yang lebih mengarahkan orientasinya pada aspek-aspek
kehidupan modern yang kompleks dan rumit kaitannya, yang lebih individualisis
sehinga menuntut kemampuan individual masing-masing pribadi dalam mengadakan
penyesuaian kehidupan psikologsnya. Konsep tentang anthropologi filsafat kalau
tidak dirumuskan dalam definisi pendidikan dapat dicari pada rumusan tentang
tujuan pendidikannya. Sebagai contoh dalam sejarah pemikiran filsafat
pendidikan Indonesia, kita dikenalkan dengan salah satu rumusan tujuan
pendidikan sebagai berikut Membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara
yang demokratis serta bertanggung jawab atas kesejahteraan Negara dan tanah
air.
Dalam
rumusan ini hakekat manusia sebagai suatu aspek yang bernilai martabat yang
sama, sehinga yang satu tidak boleh mencaplok atau menghisap yang lain, artinya
manusia dihisap warga negara sehingga mengarah ke terhisapnya kepentingan
individu demi kepentingan dan kejayaan Negara, dan sebaliknya hilangnya aspek
warganegara dan mengarah ke individualisme yang otomistis. Suatu ilustrasi
tujuan pendidikan yang mengarah ke penghisapan individualitas manusia ke dalam
konsep warganegara adalah definisi pendidikan di bawah ini Pendidikan adalah
kegiatan atau proses dengan mana individual dibina agar loyal setia tanpa sarat
dan penyesuaian membuka pada kelompok atau individu.
B. PARADIGMA ONTOLOGI PENDIDIKAN
1. Pengertian ontologi
Ontologi merupakan salah satu
kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu
yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat
ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum
membedaan antara penampakan dengan kenyataan.
Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan
substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih
penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari
satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Hakekat kenyataan atau realitas memang
bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:
§ kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan
apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
§ Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan
apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti
misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan
sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara
kritis.Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme
Istilah istilah terpenting yang terkait
dengan ontologi adalah:
§ yang-ada (being)
§ kenyataan/realitas (reality)
§ eksistensi (existence)
§ esensi (essence)
§ substansi (substance)
§ perubahan (change)
§ tunggal (one)
§ jamak (many)
Ontologi
ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang
dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya).
Ontologis; cabang ini menguak tentang objek
apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ?
bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert
berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi
tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh
filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas
yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang
tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada
yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya
mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens
Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
2. Objek
formal ontologi
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh
realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau
jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi
aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme.
Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang
terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan
diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles
dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami
sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek
materialisme dari mental.
3. Metode
dalam ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan
abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan
abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas
sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang
menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan
prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas.
Abstraksi yang
dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode
pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu :
pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
Pembuktian a priori disusun dengan
meletakkan term tengah berada
lebih dahulu dari predikat;
dan pada kesimpulan term tengah
menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh
:
Sesuatu yang
bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
Badan itu
sesuatu yang lahiri (S-Tt)
Jadi, badan
itu fana’ (S-P)
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas
kesimpulan; dan term tengah
menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara
pembuktian a posterioris
disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh
:
Gigi geligi itu gigi geligi rahang
dinasaurus (Tt-S)
Gigi geligi itu gigi geligi pemakan
tumbuhan (Tt-P)
Jadi,
Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)
Bandingkan
tata silogistik pembuktian a priori
dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan;
sedangkan yang a posteriori di
berangkatkan dari term tengah
di hubungkan dengan subjek, term
tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.
4. Sebuah Paradigma Ontologi Pendidikan
Secara ontologism, dikatakan
bahwa tanpa manusia pendidikan itu bukan apa-apa (nothing), sebaliknya tanpa
pendidikan mustahil manusia mampu mempertahankan kelangsungan dan mengembangkan
hidupnya.
Secara ontologis manusia berada dalam tiga tingkatan hakikat yaitu;
Secara ontologis manusia berada dalam tiga tingkatan hakikat yaitu;
§ Essensi abstark pendidikan.
Artinya pendidikan itu bersifat universal yaitu mutlak ada dan berlaku untuk
setiap manusia siapapun, kapanpun dan dimanapun.
§ Essensi potensial
pendidikan. Dalam hal ini manusia menjadi dirinya sendiri dimana ia menumbuh
kembangkan keceerdasan intelegensi sehingga terbentuk kepribadian yang kreatif.
Dimana ia dapat yekun, teliti dan terampil dalam menghadapi masalah dalam
kehidupan sehari-hari.
§ Essensial konkret pendidikan.
Pada tingkatan ini pendidikan adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran akan
hakekatnya berdasarkan asal mula dan tujuan hidup manusia.
C. KEBENARAN
DALAM PENDIDIKAN
Manusia
selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya
terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan
pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan
mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan
manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup
yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan
dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
Pendidikan
pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk
menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua
orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan
kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai
nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau
martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Kebenaran
sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia.
Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah
hakekat kebenaran itu?
Jika
manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk
melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu
bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis.
Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada
kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada
pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum
universal.
1. Pengukuran definisi kebenaran
Apakah kebenaran itu? Inilah yang lebih
lanjut harus dihadapi di dalam filsafat ilmu. Hal kebenaran sesungguhnya
merupakan tema sentral di dalam filsafat ilmu. Secara umum orang merasa bahwa
tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran. Rasanya lebih tepat kalu
pertanyaan kemudian dirumuskan menjadi apakah pengetahuan yang benar itu
Problematika
mengenai kebenaran, seperti halnya problematic tentang pengetahuan, merupakan
masalah-masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadarminta
ditemukan arti kebenaran yakni:
a.
Keadaan
(hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang
sesungguhnya); misal, kebenaran beita ini masih saya sangsikan; kita harus
berani membelan kebenaran dan keadilan.
b.
Sesuatu
yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya);
misal, kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama.
c.
Kejujuran;
kelurusan hati; misal tidak ada seorang pun yang sangsi akan kebaikan dan
kebenaran hatimu.
d.
Selalu
izin; perkenaan; misal, dengan kebenaran yang dipertuan.
e.
Jalan
kebetulan; misal, penjahat itu dapat dibekuk dengan cara kebenaran saja.
Dalam
kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam
kepribadian dan kesadarannya tak mungkin tanpa kebenaran.
Berdasarkan
scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
a.
Tingkatan
kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhana dan pertama
yang dialami manusia.
b.
Tingkatan
ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indera, diolah
pula dengan rasio.
c.
Tingkat
filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu
semakin tinggi nilainya.
d.
Tingkatan
religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati
oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.
Keempat
tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga
proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi
subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenaran
itu. Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya
ialah panca indra.
Kebenaran
itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebenaran
itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.
Ukuran
Kebenarannya :
§ Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia
untuk menemukan kebenaran.
§ Apa yang disebut benar oleh seseorang belum
tentu benar bagi orang lain.
§ Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau
kriteria kebenaran.
2. Jenis-jenis
Kebenaran.
Telaah
dalam filsafat ilmu, membawa orang kepada kebenaran dibagi dalam tiga jenis.
Menurut A.M.W. Pranarka (1987) tiga jenis Kebenaran itu adalah:
a.
Kebenaran
epstimologikal.
b.
Kebenaran
ontological.
c.
Kebenaran
semantikal.
Kebenaran
epstimogikal adalah pengertian kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan
manusia. Kadang disebut dengan istilah veritas cognition ataupunveritas
logica.
Kebenaran dalam
arti ontological adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada
segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Apabila dihubungkan dengan kebenaran
epstimologikal kadang-kadang disebut juga kebenaran sebagai sifat dasar yang
ada di dalam objek pengetahuan itu sendiri.
Adapun
kebenaran dalam arti semantikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di
dalam tutur kata dan bahasa. Kebenaran semantikal disebut juga kebenaran moral
(veritas moralis) karena apakah tutur kata dan bahasa itu mengkhianati atau
tidak terhadap kebenaran epstimologikal atau pun kebenaran ontological
tergantung kepada manusianya yang mempunyai kemerdekaan untuk menggunakan tutur
kata atau pun bahasa itu. Apabila kebenaran epstimologikal terletak di
dalam adanya kemanunggalan yang sesuai serasi terpadu antara apa yang
dinyatakan oleh proses cognitive intelektual manusia dengan apa yang
sesungguhnya ada di dalam objek (yang disebutesse reale rei), apakah itu
konkret atau abstrak, maka implikasinya bahwa di dalamesse reale
rei tersebut memang terkandung suatu sifat intelligibilitas (dapat
diketahui kebenarannya). Hal adanya intelligibilitas sebagai kodrat yang
melekat di dalam objek, di dalam benda, barang, makhluk dan sebagainya sebagai
objek potensial maupun riil dari pengetahuan cognitif intelektual
manusia itulah yang disebut kebenaran ontological, ialah sifat benar yang
melekat di dalam objek.
3. Teori-Teori
Kebenaran.
a.
Teori
Corespondence
Masalah
kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita obyek
(informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek
(ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan
kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.
Teori
korespodensi (corespondence theory of truth) menerangkan bahwa kebenaran atau
sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang
dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh
pernyataan atau pendapat tersebut.
Kebenaran
adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselarasan dengan realitas
yang serasi dengan situasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu
yaitu :
§ Statement (pernyataan)
§ Persesuaian (agreemant)
§ Situasi (situation)
§ Kenyataan (realitas)
§ Putusan (judgements)
Kebenaran
adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan).
Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristoteles dan moore
dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik,
serta oleh Bernard Russel pada abad moderen.
Cara
berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori
kebenaran menurut corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga
pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian
moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai
moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam
tingkah lakunya.
Artinya
anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral
itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di
dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau
tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standar atau asas normatif bagi
tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku,
harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek,
nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
Misalnya
pengetahuan `air akan menguap jika dipanasi sampai dengan 100 derajat`.
Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau kemudian dicoba memanasi air dan
diukur sampai seratus derajat, apakah air menguap! Jika terbukti tidak menguap
maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah, dan jika terbukti air menguap, maka
pengetahuan tersebut dinyatakan benar.
b.
Teori
Consistency
Teori
ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan
eksperimen dianggap relible jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu
penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan
penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
Menurut
teori consistency untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas
hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan
subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada
subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu
realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman
subyek lain. Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang
sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang.
Teori
konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini
lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dan kelanjutan
yang teliti dari teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan
dari arti kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test)
atas arti kebenaran tadi.
Teori
koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila
di dalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengan
pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu
pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan
yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya. Rumusan
kebenaran adalah truth is a sistematis coherence dan truth is consistency. Jika
A = B dan B = C maka A = C
Logika
matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini
menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga
benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
Teori
ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza
dan George Hegel. Suatu teori dianggap benar apabila telah dibuktikan
(klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data
terbaru yang benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur
atau batal dengan sendirinya. Sebagai contoh, kita mempunyai pengetahuan bahwa runtuhnya
kerajaan Majapahit adalah tahun 1478. Dalam hal ini kita tidak dapat
membuktikan secara langsung dari isi pengetahuan itu, melainkan hanya dapat
membuktikan melalui hubungan dengan proposi yang terdahulu, baik dalam
buku-buku sejarah atau peniggalan sejarah yang mengungkapkan kejadian itu.
c.
Teori
Pragmatisme
Paragmatisme
menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode
project atau metode problem solving di dalam pengajaran. Mereka akan
benar-benar, hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada.
Artinya sesuatu itu benar, jika mengembalikan pribadi manusia di dalam
keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama
pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini
manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu
menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak,
teori ini salah.
Jika
teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu
benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar
(kebenaran). Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap
suatu pernyataan, teori atau dalil itu memiliki kebenaran bila memiliki
kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.
Kaum
pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat
dikerjakan (workobility) dan akibat yang memuaskan (satisfaktor consequence).
Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung
pada manfaat dan akibatnya.
Akibat
/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
§ Sesuai dengan keinginan dan tujuan
§ Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen
§ Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk
tetap eksis (ada)
Teori
ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsuf Amerika, tokohnya adalah
Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey
(1852-1859).
Wiliam
James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsekuensi,
pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsekuensi tidaklah terletak di
dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya
setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori
korepondensi) atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita
(teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuatu melalui praktek di dalam
program problem solving. Misal pengetahuan naik bis, lalu akan turun dan bilang
kepada kondektur `kiri`, kemudian bis berhenti diposisi kiri. Dengan berhenti
di posisi kiri, penumpang bias turun dengan selamat. Jadi mengukur kebenaran
bukan dilihat bukan karena bis berhenti di posisi kiri, namun penumpang bias
turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.
d.
Kebenaran
Religius
Kebenaran
adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan
realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.
Kebenaran
tak cukup hanya diukur dengan rasio dan kemauan individu. Kebenaran bersifat
objective, universal, berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini
secara ontologis dan axiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui
wahyu.
Nilai
kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat
super rasional dan super individual. Bahkan bagi kaum religius kebenaran illahi
ini adalah kebenaran tertinggi, dimana semua kebenaran (kebenaran indera,
kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah
kebenaran ini :
Agama
sebagai teori kebenaran, Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat,
budi, fakta, realitas dan kegunaan sebagai landasannya. Dalam teori kebenaran
agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sebagai makluk pencari
kebenaran, manusia mencari dan menemukan kebenaran melalui agama. Dengan
demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran agama
atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Agama dengan kitab suci dan
haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk
kebenaran.
e.
Teori
kebenaran berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
Proposi
itu ditinjau dari segi artinya atau maknanya. Apakah proposisi yang merupakan
pangkal tumpunya itu mempunyai referen yang jelas. Oleh sebab itu, teori ini
mempunyai tugas untuk menguakkan kesahan dari proposisi dalam
referensinya. Teori kebenaran semantik dianut oleh paham filsafat
analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russel sebagai tokoh
pemula dari filsafat Analitika Bahasa. Misalnya filsafat secara etimologi
berasal dari bahasa Yunani philosophia yang berarti cinta akan
kebijaksanaan. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau ada referensi yang
jelas. Jika tidak mempunyai referensi yang jelas maka pengetahuan tersebut
salah.
f.
Teori
kebenaran sintaksis
Para
penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis
atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang
melekatnya. Dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar apabila
pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata
lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang
disyaratkan maka proposisi tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang di antara
filsuf analisis bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian
gramatika. Misalnya suatu kalimat standar harus ada subjek dan predikat. Jika
kalimat tidak ada subjek maka kalimat itu dinyatakan tidak baku atau bukan
kalimat. Seperti `semua korupsi` ini bukan kalimat standar karena tidak ada
subjeknya.
g.
Teori
kebenaran nondeskripsi
Teori
kebenaran non deskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme.
Karena pada dasarnya suatu statement atau pernyataan akan mempunyai nilai benar
yang amat tergantung pada peran dan fungsi dari pernyataan itu. Jadi,
pengetahuan akan memiliki niali benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi
yang amat praktis dalam kehidupan sehari- hari.
h.
Teori
kebenaran logic yang berlebihan (Logical superfluity of truth)
Teori
ini dikembangkan oleh kaum positivistik yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya
menurut teori ini, problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan
hal ini mengakibatkan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa yang hendak
dibuktikan kebenarannya memiliki drajat logis yang masing-masing saling
melingkupinya.
4. Analisis
kebenaran dalam pendidikan
Secara epistemologis, kebenaran pendidikan menunjuk hasil dari
seluruh rangkaian kegiatan pendidikan. Jika bentuk dan materi pendidikan terpadu
maka pendidikan itu benar adanya.
Pendidikan sekolah menyelenggarakan kegiatan pembelajaran
secara keilmuan untuk mencapai kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah adalah
landasan terbentuknya watak da sikap ilmiah. Masyarakat terbuka bersifat monopluralistik,
dimana potensi individual menyublin dalam wujud dan bentuk kesatuan menyeluruh
yang dinamis, merdeka dan otonom.
Salah satu ciri masyarakat terdidik adalah cenderung produktif
dalam perekonomian, ketertiban sosial menurut peraturan hukum, bidang kesehatan
dalam hal ini pelayanan publik dan bidang penyelenggaraan pendidikan.
Dalam kehidupan masyarakat terdidik, kegiatan politik diselenggarakan secara benar menurut estimologi pendidikan dan penyelenggaraan kegiatan pendidikan menganut sistem terbuka.
Dalam kehidupan masyarakat terdidik, kegiatan politik diselenggarakan secara benar menurut estimologi pendidikan dan penyelenggaraan kegiatan pendidikan menganut sistem terbuka.
Melalui pemahan tentang objek pendidikan, maka wawasan
pendidikan dan kehidupan menjadi semakin terbuka lebar. Jika wawasan pendidikan
bersenyawa dengan nilai kebenaran pendidikan akan tertanam kuat dan akan
membentuk sikap keterdidikan yang diharapkan.
D. SASARAN ETIKA PENDIDIKAN
1. Etika Hakikat Nilai Kebaikan
Ada tiga jenis nilai yang
dipersoalkan yaitu nilai keindahan, nilai kebenaran dan kebaikan. Nilai
keindahan dalam cabang filsafat estetika, nilai kebaikan dalam filsafat
epistemologi dan nilai kebaikan dalam filsafat etika.
Etika adalah suatu studi filosofis mengenai moral. Berdasarkan pada sistematika filsafat, nilai keindahan, kebenaran dan kebaikan berada saling berhubungan secara integral menurut hokum kausalitas. Yang bernilai baik seharusnya benar dan indah, yang bernilai benar seharusnya baik dan indah, dan yang bernilai indah seharusnya benar dan baik.
Etika adalah suatu studi filosofis mengenai moral. Berdasarkan pada sistematika filsafat, nilai keindahan, kebenaran dan kebaikan berada saling berhubungan secara integral menurut hokum kausalitas. Yang bernilai baik seharusnya benar dan indah, yang bernilai benar seharusnya baik dan indah, dan yang bernilai indah seharusnya benar dan baik.
Pada hakikatnya kehidupan ini indah, ketika semua pihak
bekerjasama saling tolong-menolong, saling memberi dalam ikatan kebersamaan yang
harmonis. Hakikat nilai kebaikan itu berada di dalam perilaku.
2. Sasaran Etika Pendidikan
Kecerdasan emosional adalah
sebuah perilaku yang dibangun menurut dasar ontologism dan epistemologis
pendidikan. Bentuk dan wujud kecerdasan emosional adalah kemampuan
mengendalikan diri untuk tidak melampaui batas.
Di dalam keluarga
pengembangan kecerdasan emosional sangat bergantung pada kualitas pendidikan
orang tua. Selanjutnya sekolah berkepentingan membangun criteria kecerdasan
emosional, dan masyarakat merupakan tempat perbaikan perilaku moral setiap
individu untuk menjadi cerdas.
DAFTAR
PUSTAKA
https://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:chN0K0LZOWkJ:blog.tp.ac.id/pdf/tag/ontologipendidikan.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar