MELEPAS SEJUTA KENANGAN UNTUK MENGGENGGAM SECUI HARAPAN


            tepat jam 24.00 kita berada pada titik pertemuan sekaligus perpisahan. Yaa, bertemu dengan tahun 2014 dan berpisah dengan tahun 2013.
Begitu cepat hari-hari berlalu, begitu cepat siang dan malam berganti, dan betapa cepat malam menggrogoti umur mendekatkan pada ajal. Tidak terasa, hari ini telah sempurna satu tahun kita lalui dan beberapa jam lagi,
            Momen tahun baru merupakan momen yang ditunggu-tunggu sebagian besar orang karena terasa istimewa dibenak mereka, saking istimewanya mereka tidak tanggung-tanggung mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk membuat perayaan yang semerbak dengan letupan petasan dan kembang api dan terompet  hingga menjadikannya sebagai ajang pesta pora, hura-hura yang tiada manfaat.
            Ghhghhg...
2013 benar-benar akan berlalu meninggalkan kita. Kembali kubuka KALEDEISKOPku sepanjang tahun 2013, kucoba memasuki diri sendiri, senyum mengembang menghiasi wajah, mengingat begitu banyak cerita telah kuukir, sedih, senang, bahagia, semua berpadu menjelma menjadi pelangi dalam hidupku. Seketika dada pun terasa sesak butiran embun yang berjatuhan disudut mata tak dapat kuelakkan lagi, saat diri mulai berbicara dan bertanya kepada diri sendiri, bagaimana hubunganku dengan Robbku selama ini, sudahkan aku mendekat padaNYA?? Ketaatan apa saja yang sudah kukerjakan, sudahkan aku berbakti pada kedua orangtuaku??? pahala dan kebaikan apa yang ku raih, sudahkah aku bermanfaat bagi sesama??? Ya Allah, tanpa kusadari, begitu banyak kesalahan, kelalaian, dan kekhilafan yang telah kulakukan,.. apa daya, semua telah berlalu dan tak mungkin kembali lagi, semoga segala kesalahan bisa kujadikan pijakan untuk memperbaiki diri di hari—hari yang akan kujalani kedepannya... ku ikhlas melepas semua kenangan itu, kenangan yang akan menjadi masa lalu dan guru terhebatku..
            Hhmhmhm
2014 akan menyapa, berbekal pengalaman di tahun 2013, seharusnya aku sudah siap untuk menghadapi tahun 2014 dengan lebih baik. Bertekad untuk betul-betul menjadi diri sendiri yang akan terus mengevaluasi diri tanpa ego.. mendedikasikan diri untuk melayani kehidupan dengan ikhlas dan sepenuh hati. Tahun baru 2014 kan kujadikan momen untuk mensyukuri serta menikmati sukacita dengan rendah hati dan sederhana. Yaa.. kusambut 2014 dengan menggenggam harapan, semoga hari-hariku lebih bermanfaat, menggapai cita-cita dengan ridho orangtuaku, serta ibadah yang lebih berkualitas.. karena tujuan akhirku tidak lain dan tidak bukan hanyalah menginginkan kesuksesan dunia akhirat.



Pertama dan Terakhir


Cahaya rembulan menerangi segenap penjuru kota ini. Bintang pun ikut menerangi kota kecil ini, Kota Bentang. Bangunan nan tinggi yang berjejeran menjadikannya elok dipandang. Semua mata tak jemu menatapnya. Jalan raya pun menjadi ramai oleh suara motor dan mobil. Sesekali suara tawa kecil dari orang yang lewat di depan rumahku turut mewarnai keramaian kota ini. Aku masih duduk termenung pada kursi plastik warna biru langit itu. Entah apa yang terpikirkan olehku malam ini. Sesekali kualihkan pandanganku ke jalan raya menyaksikan kendaraan yang berlalu-lalang. Lagi-lagi aku larut dalam lamunan yang terus menari di atas angin.
Piiiiiiiiip…piiiip…. Tiba-tiba aku tersadar dari indahnya lamunanku. Kuarahkan pandanganku ke sumber suara itu. Kutangkap bayangan itu, tak ada yang berubah. Empat tahun lebih rasanya seperti kemarin. Sosoknya memang tak pernah berubah di mataku. Rasa itu pun masih tetap sama. Kukembangkan senyum tipis menyambut sosok yang mendekat ke arahku. Kusapa dan kupersilahkan masuk. Kujabat tangannya. Tapi tangannya bak es, dingin. Sejenak kumelihat wajahnya yang anggun itu, mataku tak sanggup menatapanya lebih lama. Sehelai senyum yang ia lontarkan kepadaku. Namun, kali ini berbeda dari empat tahun silam. Menguak sejuta tanya dalam batinku. Ada apa gerangan? Kenapa senyum itu berbeda? Sejenak suasana menjadi hening.
“Hem… eh… bagaimana kabarmu?” Tanyaku seraya memecahkan keheningan itu.
“E… eh.. baik.” Jawabnya kaget.
Aku kembali menghidupkan suasana. “Sekarang kamu kerja di mana?”
“Di BKD jawabnya. Kamu ada acara malam ini?” Tanyanya.
“Tidak ada” jawabku.
“Bisa kamu temani aku ke Plaza?”
“bisa”. Jawabku.
Jarum jam menunjuk angka 07. 30. Kami pun meninggalkan rumah menuju Plaza Marina.
Kami menuju meja paling belakang, tepatnya meja nomor 16. Seorang anak mendekati kami lalu bertanya, “Pesan apa?” jus alpukat dua dan roti panggang. Jawabnya dengan suara sedikit bergetar. Setangkai harapan kembali hadir dalam batinku. Aku senang. Senang sekali karena dia masih ingat minuman kesukaanku.
Pertemuan pertama setelah berpisah selama empat tahun adalah suasana yang paling indah bagi insan yang sedang memadu kasih. Namun, itu jauh dari harapan. Entah kenapa dan bagaimana. Kupecahkan keheningan itu dengan sebuah tanya.
“Sand! kamu masih ingat nggak malam waktu aku nembak kamu di sini? Nomor mejanya, suasana di sekeliling kita sama seperti dulu. Betul-betul ya empat tahun enam bulan telah berlalu tapi malam ini rasanya seperti kemarin. Malam itu bulan bersama semua bintang di langit menjadi saksi bisu atas hubungan kita.”
Tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya yang tipis itu. Seolah ia tak mendengar perkataanku tadi. Dia hanya diam dan menundukkan kepala.
“Sand… Sand… Sandra! Kamu kenapa say?” Tanyaku. Aku mendekatinya sambil bertanya lagi, “kamu sakit?” Dia hanya menggelengkan kepala dan masih menundukkan tatapannya. Kucoba menghelai rambut panjangnya yang terurai dan dia mengangkat tatapannya, di sana kutemukan butiran-butiran kristal yang berguguran. Ya betul butiran air lembut membasahi pipinya.
“Say, kamu kenapa, kok nangis?”
“Ti… tidak.” Jawabnya dengan suara pelan dan berat.
“Kamu sakit?” Tanyaku lanjut.
“Tidak kok, aku baik-baik saja.” Sejuta tanya kembali melilit di pikiranku.
Tabe’… ini jusnya,” kata pelayan itu.
“Iya makasih ya dek!” Jawab Sandra.
Kami lanjut ngobrol dari A-Z tentang teman-teman di kampus, malam pertama jadian, dan lain sebagainya membuat kami tertawa. Itulah masa lalu, masa masih duduk di bangku kuliah. Asyiknya mengingat masa lalu, disela tawa kecil kami. Ia bertanya,
 “Kamu pasti punya pacar kan selama di Bandung? Atau jangan-jangan sudah sudah punya istri?”
“Kamu itu sama saja seperti dulu, sering nanya yang seperti itu. Tidak ada,” jawabku.
“Kamu jujur saja, saya tidak akan marah kok say!” pintanya.
“Tidak ada, serius. Sejak aku kenal kamu sampai malam ini, hanya ada satu nama di hatiku yaitu SANDRA. Sand…! Di tempat inilah kita diikat oleh sebuah janji kesetiaan selamanya dan di tempat ini pula aku akan akan mengatakan sesuatu ke kamu, malam ini. Kamu tidak keberatan kan?”
Dia hanya tersenyum sambil menundukkan pandangannya sejenak lalu bangkit dan bertanya.
“Apa itu?” Sambil tersenyum. Senyumnya yang manis dan tatapannya membuatku tak berdaya untuk untuk mengatakannya. Tapi, ini harus dia ketahui. Hati ini tak sabar rasanya untuk mengatakannya tapi mulutku seolah terkunci dengan keanggunan rupanya yang berhiaskan senyuman. Batinku mulai berperang antara “katakanan sekarang” dan” jangan”. Aku kembali diam tak berdaya sambil menyaksikan perdebatan dalam batinku.
“Kamu mau bilang apa?” Tanyanya. O, aku terkejut dan sedikit grogi tapi tetap berusaha untuk menguasai diri. Begini, hari Kamis nanti orang tuaku mau datang ke rumahmu. Dia langsung memotong pembicaraanku dengan bertanya,
“Untuk apa?” Nampaknya dia agak kaget.
“Ya untuk apalagi kalau bukan untuk kelanjutan hubungan kita. Untuk melamar kamu, makanya aku ajak ketemu kamu malam ini juga,” paparku lanjut. Wajah nan anggung yang memesona itu tiba-tiba berubah menjadi merah, bibir nan seksi itupun gemetaran bak orang yang kedinginan. Perlahan, butiran kristal pun berguguran.
Aku bertanya, “Kok kamu nangis?” Awalnya aku pikir ia hanya terharu setelah melewati penantian yang panjang, akhirnya akan berbuah manis juga. Tapi, setelah butiran air lembut semakin membanjiri pipinya aku mulai heran.
“Kamu kenapa say?” Tak ada sepatah katapun terucap dari bibir tipis yang seksi itu. Aku pun terdiam sejenak lalu berkata lagi “apa yang terjadi denganmu?” Semua pertanyaan itu tak satu pun dijawab.
Aku mendekatinya lalu berbisik, “aku serius aku mencintai kamu,” sambil mengusap rambutnya dan sesekali menghapus air matanya dengan tissu.
Mendengar itu, sepertinya tangisan itu tak sanggup lagi di bendung olehnya.
“Terima kasih untuk semuanya say… aku mau pulang saja sekarang, ntar di rumah aku sms kamu ya!”
“Kok begini sih? Iya tapi aku antar kamu pulang ya?” Jawabku.
“Tidak usah, aku bisa pulang sendiri.”
“Tidak apa-apa aku antar saja.”
“Janganmi, tidak apa-apaja,” jawabnya.
“Ya hati-hati di jalan!”
Ia sedikit memutar badan lalu menempelkan bibirnya di pipi kananku. Aku sontak kaget karena selama saya mengenal dirinya tidak pernah sekali pun ia melakukan hal itu.
“Aku pergi dulu, jangan lupa baca sms ku sebentar ya!”
“I… iya, makasih say!”
Lima menit setelah ia pergi, aku pun segera beranjak dari tempat itu menuju ke rumah. Sesampai di rumah, langsung kurebahkan diriku di atas ranjang dengan terlilit sejuta pertanyaan tentang kejadian tadi di Marina Plaza. Tetap terbaring di atas ranjang hingga jarum jam menunjuk angka 12.16. Tiba-tiba terdengar dari dekat bantalku suara ting…ting…ting…. Dengan tidak sabar aku langsung membuka inboks di HP ku. Begitu aku membukanya, nama yang muncul adalah “UMMI” kubaca dengan pelan rangkaian kata dalam pesan itu:
Maaf kalau kehadiran sms ini membuat kamu terganggu! Langsung ke intinya aja ya! Saya sangat berterima kasih atas niat baikmu sekeluarga karena akan mewujudkan janji yang pernah kau ucapkan kepadaku beberapa tahun yang lalu. Aku bangga karna sampai detik ini kamu masih setia terhadapku. Tapi, dengan berat hati dan penuh rasa bersalah saya mohon maaf yang sedalam-dalamnya karena baru kemarin saya menerima lamaran dari seseorang. Kejadian yang tadi itu adalah awal dan akhir dari segalanya, maafkan aku! Akhir-akhir ini saya meragukan kesetiaanmu tapi ternyata kau membuktikannya. Mungkin kamu bukan yang terbaik bagiku, begitupun sebaliknya. Semoga kamu menemukan yang terbaik untuk mendamping hidup di masa tua hingga menghembuskan nafas terakhirmu. Terima kasih atas cinta suci yang kau berikan. Kau laki-laki yang terbaik yang kutemukan selama ini, bahkan kau melebihi tunanganku. Sekali lagi maaf untuk semuanya, dan sampaikan juga permohonan maafku kepada ayah dan bunda. Wassalam”.
***

Makassar, 24 November 2013

Oleh: Muhammad Nur