TUMBUH KEMBANG ANAK TUNANETRA
A.
Latar
Belakang
Perkembangan individu merupakan periode
khusus dan sulit dari rentang hidup seseorang dan kesulitan ini meningkat
apabila ada rintangan yang mengganggu atau menghambat perkembangan. Salah satu
rintangan tersebut diantaranya adalah hambatan fisik. Hambatan fisik
menghalangi seseorang mengerjakan apa yang dilakukan oleh orang lain pada usia
yang sama, sehingga dapat menggagalkan penguasaan tugas-tugas perkembangan sebagian
atau seluruhnya . Dan alah satu hambatan fisik yang dialami oleh seseorang
dapat berupa ketunaan, yakni salah satunya adalah tunanetra.
Istilah tunanetra mulai populer dalam
dunia pendidikan yang dirasa cukup tepat menggambarkan keadaan penderita yang
mengalami kelainan indera penglihatan, baik bersifat berat maupun ringan.
Istilah tersebut melukiskan keadaan mata yang rusak baik sebelah maupun
seluruhnya (kedua-duanya), sehingga mata tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana
mestinya.
Orang
tunanetra mengalami tiga keterbatasan (Lowenfeld, 1948). Keterbatasan pertama, kontrol lingkungan dan diri
dalam hubungannya dengan lingkungan, dimana hal ini dapat berpengaruh terhadap
penerimaan informasi dalam interaksi sosial. Keterbatasan kedua adalah mobilitas. Apabila keterbatasan ini tidak ditangani
dengan memberikan pelatihan kepada orang tunanetra, maka orang tunanetra akan
menghadapi kesulitan dalam melakukan interaksi dengan lingkungan. Kemungkinan
dia akan kesulitan mempelajari lingkungan yang baru tanpa adanya bantuan dari
orang lain, atau dia akan berkesulitan menemukan landmark khusus yang hanya
dijelaskan dalam bentuk pengenalan verbal. Keterbatasan ketiga adalah dalam tingkat dan keanekaragaman konsep. Orang
tunanetra yang ketunanetraannya diperoleh sejak lahir akan menghadapi kesulitan
ketika memperoleh konsep-konsep yang baru, seperti perkembangan teknologi,
pakaian, dan perubahan dalam lingkungan. Keterbatasan ini merupakan masalah
utama yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan orang tunanetra yang diperoleh
sejak lahir karena pengembangan konsep merupakan dasar dari belajar akademik, social,
dan psikomotor..
Cutsforth (dalam Tarsidi, 2007)
mengatakan bahwa ketidakmampuan diri pada seorang tunanetra lebih diakibatkan
oleh cara masyarakat memperlakukan orang tunanetra tersebut. Dari beberapa
hasil penelitian mengenai pandangan orang berpenglihatan normal terhadap
penyandang tunanetra adalah bahwa penyandang tunanetra memiliki beberapa
karakteristik, baik yang sifatnya positif maupun negatif. Beberapa penilaian
yang termasuk negatif memandang bahwa penyandang tunanetra sebagai suatu ketidakberdayaan,
suka tergantung pada orang lain dan mereka mengidentikkan kehilangan
penglihatan itu dengan kehilangan segala-galanya. Sedangkan penilaian yang
termasuk positif memandang bahwa kecacatan akan mengubah penghayatan dari
kehidupan yang tidak bermakna (meaningles) menjadi bermakna (meaningful).
Motivasi sangat berpengaruh penting
dalam pengembangan potensi diri. Motivasi itu tidak sebatas dari dirinya
sendiri tetapi juga dari orang tua,
keluarga dan lingkungannya, baik secara langsung maupun tidak langsung
turut memberikan andil bagi keberhasilannya. Dengan motivasi dan keyakinan yang
dimiliki individu dapat menentukan tujuan yang ingin dicapainya.
B.
Pengertian
Gangguan Penglihatan (Tunanetra)
Tunanetra
Indonesia / Pertuni (2004) mendefinisikan ketunanetraan sebagai berikut: Orang
tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta
total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu
menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam
keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas).
Terdapat
sejenis konsensus internasional untuk menggunakan dua jenis definisi sehubungan
dengan kehilangan penglihatan:
1.
Definisi
legal (definisi berdasarkan peraturan perundang-undangan)
Definisi legal terutama
dipergunakan oleh profesi medis untuk menentukan apakah seseorang berhak
memperoleh akses terhadap keuntungan-keuntungan tertentu sebagai mana diatur
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti jenis asuransi
tertentu, bebas bea transportasi, atau untuk menentukan perangkat alat bantu
yang sesuai dengan kebutuhannya, dsb. Dalam definisi legal ini, ada dua aspek
yang diukur:
-
Ketajaman penglihatan
(visual acuity) dan
-
Medan pandang (visual
field).
Cara yang paling umum untuk
mengukur ketajaman penglihatan adalah dengan menggunakan Snellen Chart yang
terdiri dari huruf-huruf atau angka-angka atau gambar-gambar yang disusun
berbaris-baris berdasarkan ukuran besarnya (lihat Gambar 1.1)
Gambar 4.1: Snellen chart (dikutip dari Mason & McCall,
1999)
Berdasarkan hasil tes ketajaman
penglihatan dengan Snellen Chart, Organisasi Kesehatan Dunia / WHO (Mason &
McCall, 1999) mengklasifikasikan penglihatan orang sebagai ”normal”, ”low
Vision”, atau ”blind” seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 1: Klasifikasi Ketajaman Penglihatan menurut WHO Ketajaman Penglihatan
6/6 hingga 6/18
|
Normal vision (penglihatan normal)
|
<6/18 hingga >3/60
|
Low vision (kurang awas)
|
<3/60
|
Blind (buta)
|
Akan tetapi, tidak semua negara menggunakan
definisi tunanetra menurut WHO itu. Satu definisi lain yang banyak dipakai
sebagai acuan adalah definisi menurut hukum Amerika Serikat. Seseorang
dikatakan ”legally blind” menurut undang-undang Amerika Serikat apabila
penglihatan pada mata terbaiknya, setelah menggunakan lensa korektif, adalah
20/200 atau kurang, dengan medan pandang 20 derajat atau kurang (Jernigan,
1994). 20/200 artinya testee
hanya mampu membaca huruf-huruf tertentu pada Snellen Chart dari jarak 20 feet,
sedangkan orang dengan penglihatan normal mampu membacanya dari jarak 200 feet.
Sementara WHO menggunakan meter sebagai satuan ukuran jarak dari testee ke
Snellen Chart, Amerika Serikat menggunakan feet sebagai satuan ukuran. 200 feet
kira-kira sama dengan 60 meter. Medan
pandang (visual field) adalah luasnya wilayah yang dapat dilihat orang tanpa
menggerakkan matanya. (Dalam beberapa literatur, visual field diterjemahkan
sebagai ”lantang pandang”). Mata dengan penglihatan normal mempunyai medan
pandang 180 derajat. Ini berarti jika anda merentangkan kedua belah lengan anda
ke kiri dan kanan sementara anda melihat ke depan, anda akan dapat melihat
tangan kiri dan tangan kanan anda tanpa harus menoleh. Orang yang medan
pandangnya sangat sempit ibarat melihat melalui sebuah cerobong; dia harus
menolehkan wajahnya ke kiri dan kanan untuk dapat melihat lebih banyak.
2. Definisi edukasional (definisi untuk tujuan pendidikan) atau
definisi fungsional yaitu yang
difokuskan pada seberapa banyak sisa penglihatan seseorang dapat bermanfaat untuk
keberfungsiannya sehari-hari.
Secara edukasional, seseorang
dikatakan tunanetra apabila untuk kegiatan pembelajarannya dia memerlukan alat
bantu khusus, metode khusus atau teknik-teknik tertentu sehingga dia dapat
belajar tanpa penglihatan atau dengan penglihatan yang terbatas. Berdasarkan cara pembelajarannya,
ketunanetraan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu buta (blind) atau
tunanetra berat dan kurang awas (low vision) atau tunanetra ringan. Seseorang dikatakan tunanetra berat
(blind) apabila dia sama sekali tidak memiliki penglihatan atau hanya memiliki
persepsi cahaya, sehingga untuk keperluan belajarnya dia harus menggunakan
indera-indera non-penglihatan. Misalnya, untuk membaca dia mengunakan tulisan
Braille yang dibaca melalui ujung-ujung jari, atau rekaman audio yang ”dibaca”
melalui pendengaran. Seseorang
dikatakan tunanetra ringan (low vision) apabila setelah dikoreksi
penglihatannya masih sedemikian buruk tetapi fungsi penglihatannya dapat
ditingkatkan melalui penggunaan alat-alat bantu optik dan modifikasi
lingkungan. Siswa kurang awas belajar melalui penglihatan dan indera-indera
lainnya. Dia mungkin akan membaca tulisan yang diperbesar (large print) dengan
atau tanpa kaca pembesar, tetapi dia juga akan terbantu apabila belajar Braille
atau menggunakan rekaman audio. Keberfungsian penglihatannya akan tergantung
pada faktor-faktor seperti pencahayaan, alat bantu optik yang dipergunakannya,
tugas yang dihadapinya, dan karakteristik pribadinya.
Secara lebih luas, Jernigan (1994) mendefinisikan
ketunanetraan berdasarkan keberfungsian dalam kehidupan sehari-hari. Dia
menulis, “One is blind to the extent that he must devise alternative techniques
to do efficiently those things which he would do with sight if he had normal
vision. An individual may properly be said to be "blind" or a
"blind person" when he has to devise so many alternative
techniques-that is, if he is to function efficiently-that his pattern of daily
living is substantially altered”. Jadi,
menurut Jernigan, seorang individu dapat dikatakan tunanetra apabila dia harus
menggunakan begitu banyak teknik alternative untuk melakukan secara efektif
hal-hal yang normalnya dilakukan menggunakan penglihatan agar dia dapat
berfungsi dalam kehidupan sehari-hari secara efisien, sehingga pola
kehidupannya pun menjadi sangat berubah.Teknik alternatif adalah cara khusus
(baik dengan ataupun tanpa alat bantu khusus) yang memanfaatkan indera-indera
nonvisual atau sisa indera penglihatan untuk melakukan suatu kegiatan yang
normalnya dilakukan dengan indera penglihatan. Teknik-teknik alternatif itu
diperlukannya dalam berbagai bidang kegiatan seperti dalam membaca dan menulis,
bepergian, menggunakan komputer, menata rumah, menata diri, dll. Kadang-kadang
teknologi diperlukan untuk membantu menciptakan teknik-teknik alternatif
tersebut.
Disisi lain Soemantri (2005:65)
mengemukakan bahwa pengertian tunanetra adalah individu yang indera
penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima
informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Anak-anak
dengan gangguan penglihatan ini dapat
diketahui dalam kondisi berikut:
§ Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki
orang awas
§ Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan
tertentu.
§ Posisis mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak.
§ Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan
penglihatan.
Dari kondisi-kondisi diatas, pada
umumnya yang digunakan sebagai patokan apakah seorang anak termasuk tunanetra
atau tidak ialah berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatannya. Selain itu,
anak tunanetra memiliki karakteristik kognitif, sosial, emosi, motorik, dan
kepribadian yang sangat bervariasi. Hal ini sangat tergantung pada sejak kapan
anak mengalami ketunanetraan, bagaimana tingkat ketajaman penglihatannya,
berapa usianya, serta bagaimana tingkat pendidikannya.
C.
Faktor-faktor
penyebab ketunanetraan
Faktor yang menyebabkan terjadinya ketunanetraan menurut (DITPLB, 2006) antara lain:
1. Prenatal
Faktor penyebab ketunanetraan pada
masa pre-natal sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan
seorang anak dalam kandungan, antara lain:
a. Keturunan
Ketunanetraan yang disebabkanoleh
faktor keturunan terjadi dari hasil perkawinan bersaudara, sesama tunanetra
atau mempunyai orang tua yang tunanetra. Ketunanetraan akibat faktor keturunan
antara lain Retinitis Pigmentosa, penyakit pada retina yang umumnya merupakan
keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit menyebabkan mundur atau
memburuknya retina. Gejala pertama biasanyasukar melihat di malam hari, diikuti
dengan hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit saja penglihatan pusat yang
tertinggal.
b. Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan
Ketunanetraan yang disebabkan
karena proses pertumbuhandalam kandungan dapat disebabkan oleh:
-
Gangguan waktu ibu
hamil.
-
Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak
sel-sel darah tertentu selamapertumbuhan janin dalam kandungan.
-
Infeksi atau luka yang
dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar air, dapat menyebabkan
kerusakan pada mata, telinga, jantung dan sistem susunan saraf pusat pada janin
yang sedang berkembang.
-
Infeksi karena penyakit
kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor dapat terjadi pada otak yang berhubungan
dengan indera penglihatan atau pada bola mata itu sendiri.
-
Kurangnya vitamin tertentu,
dapat menyebabkan gangguan pada mata sehingga hilangnya
fungsi penglihatan.
2. Post-natal
Penyebab ketunanetraan yang terjadi
pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau setelah
bayi lahir antara lain:
a.
Kerusakan pada
mata atau saraf mata padawaktu persalinan, akibat benturan alat-alat atau benda
keras.
b. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe,
sehingga baksil gonorrhoe menular pada bayi, yang pada akhirnya setelah bayi
lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya
daya penglihatan.
c. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan,
misalnya:
- Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.
- Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.
a. Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon
trachomanis.
b. Catarac; yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata
sehingga lensa mata menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi
putih.
c. Glaucoma; yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan
dalam bola mata, sehingga tekanan
pada bola mata meningkat.
d. Diabetik Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang
disebabkan karena diabetis. Retina penuh dengan pembuluh-pembuluhdarah dan
dapat dipengaruhi oleh kerusakan sistem sirkulasi hingga merusak penglihatan.
e. Macular Degeneration; adalah kondisi umum yang agak baik,
dimana daerah tengah dari retina secara berangsur memburuk.Anak dengan retina
degenerasi masih memiliki penglihatan perifer akan tetapi kehilangan kemampuan
untuk melihat secara jelas objek-objek di bagian tengah bidang penglihatan.
f.
Retinopathy of
prematurity; biasanya anak yang mengalami ini karena lahirnya terlalu prematur.
Pada saat lahir masih memiliki potensi penglihatan yang normal. Bayi yang
dilahirkan prematur biasanya ditempatkan pada inkubator yang berisi oksigen
dengan kadar tinggi, sehingga pada saat bayi dikeluarkan dariinkubator terjadi
perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah
menjadi tidak normal dan meninggalkan semacam bekas luka pada jaringan mata.
Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala
(retina) dan tunanetra total.
d.
Kerusakan mata
yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam,
cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan, dll.
Selain
itu, menurut Soemantri (2005 : 66) secara ilmiah ketunanetraan anak dapat
disebabkan oleh berbagai faktor dalam diri anak (internal) ataupun faktor dari
luar anak (eksternal). Hal-hal yang termasuk faktor internal yaitu
faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam
kandungan. Kemungkinannya karena faktor
gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan
obat, dan sebagainya. Sedangkan hal-hal yang termasuk faktor eksternal
diantaranya faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan.
Misalnya: kecelakaan, terkena penyakit syphilis
yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat
melahirkan sehingga system persyarafannya rusak, kurang gizi atau vitamin,
terkena racun, virus trachoma, panas
badan yang terlalu tinggi, serta peradangan mata karena penyakit, bakteri,
ataupun virus.
D.
Perkembangan
kognitif anak tunanetra
Akibat
dari ketunanetraan, maka pengenalan atau pengertian terhadap dunia luar anak,
tidak dapat diperoleh sacara lengkap dan utuh. Akibatnya perkembangan kognitif
anak tunanetra cenderung terhambat dibandingkan dengananak-anak normal pada
umumnya. Hal ini disebabkan perkembangan kognitif tidak saja erat kaitannya
dengan kecerdasan atau kemampuan intelegensinya, tetapi juga dengan kemampuan
indera penglihatannya. Namun karena
dorongan dan kebutuhan anak untuk tetap mengenal dunia sekitarnya, anak
tunanetra biasanya menggantikannya dengan indera pendengaran, indera penciuman,
dan indera peraba dan indera pengecapan sebagai saluran utama penerima
informasi. Karena itu bagi tunanetra setiap bunyi yang didengarnya, bau yang
diciumnya, kualitas kesan yang dirabanya dan rasa yang dicecapnya memiliki
potensi dalam pengembangan kemampuan kognitifnya. Implikasinya, kebutuhan akan
rangsangan sensoris bagi anak tunanetra harus benar-benar diperhatikan agar ia
dapat mengembangkan pengetahuannya tentang benda-benda dan peristiwa-peristiwa
yanga ada dilingkungannya.
Jika
aktivitas imitasi pada anak normal diperoleh dengan imitasi visual, maka pada
anak tunanetra harus dirangsang melalui stimuli pendengaran, disamping sisa
pendengaran serta indera-indera lainnya. Selain itu, karena kurangnya stimuli
visual, perkembangan bahasa anak tunanetra juga tertinggal dibanding anak awas.
Pada anak tunanetra, kemampuan kosakata terbagi atas dua golongan yaitu
kata-kata yang berarti bagi dirinya berdasarkan pengalaman sendiri, dan kata-kata
verbalistis yang diperolehnya dari orang lain yang ia sendiri sering tidak
memahaminya.
Akibat
ketunanetraan membawa konsekuensi terhadap terhambatnya perkembangan kognitif
anak tunanetra. Hal ini disebabkan perkembangan kemampuan kognitif seseorang menuntut
partisipasi aktif, peran dan fungsi penglihatan sebagai saluran utama dalam
melakukan pengamatan terhadap dunia luar. Sementara itu, anak tunanetra tidak
memiliki kemampuan visual sebagai salah satu faktor penting dalam perkembangan
kognitif yang jelas dibandingkan dengan anak pada umumnya, maka
ketunanetraannya akan berakibat pada keterlambatan kognitif.
Pada
tahapan sensorimotor yang ditandai dengan penggunaan sensori-motorik dalam
pengamatan dan penginderaan yang intensif terhadap dunia sekitarnya, pada anak
tunanetra prestasi intelektual dan perkembangan bahasa mungkin bukan masalah
besar, asallingkungan memberikan stimuli yang kuat dan intensif terhadap anak. Menurut
Piaget (dalam Soemantri, 2005: 71) pada tahapan ini dibandingkan anak normal, anak
tunanetra akan mengalami kelambatan sekitar empat bulan. Pada tahapan
pra-operasional yang ditandai dengan cara berfikir yang bersifat transduktif
(menarik kesimpulan tentang sesuatu yang khusus atas dasar hal yang khusus ;
sapi disebut kerbau), dominasi pengamatan yang bersifat egosentris (belum
memahami cara orang memandang objek yang sama), serta bersifat searah, anak
tunanetra cenderung mengalami hambatan atau kesulitan dalam cara-cara bberfikir
seperti itu mengakibatkan kesulitan belajar mengklasifikasikan objek-objek atas
dasar satu cirri yang mencolok (menonjol) atau criteria tertentu. Menurut
Piaget (dalam Soemantri, 2005: 72) kalau dibandingkan dengan anak normal maka
keterlambatan tersebut sekitar dua bulan.
Pada
tahap operasional konkret yang ditandai dengan kemampuan anak dalam
mengklasifikasikan, menyusun, mengasosiasikan angka-angka atau bilangan, serta
proses berfikir, walaupun masih terikat dengan objek-objek yang bersifat
konkret, anak tunanetra dapat mengoperasikan kaidah-kaidah logika dalam
batas-batas tertentu, namun secara umum hal ini akan sulit dilakukan.
Pada
tahapan operasional formal yang ditandai dengan kemampuan untuk mengoperasikan
kaidah-kaidah formal yang tidak terikat lagi dengan objek-objek yang bersifat
konkret, seperti kemampuan berfikir hipotesis deduktif (hypothetic deductive thinking), mengembangkan suatu kemungkinan
berdasar dua atau lebih kemungkinan (a
combination thinking), mengembangkan suatu proporsi atau dasar-dasar
proporsi yang diketahui, serta kemampuan menarik generalisasi dan inferensi
dari berbagai kategoro objek yang bervariasi, anak tunanetra dalam hal-hal
tertentu mungkin dapat melakukan dengan baik walaupun sifatnya sanggat
verbalistis. Pencapaian tahapan operasi formal ini juga tidak akan dicapai secara
utuh oleh anak tunanetra. Masalah lain yang menghambat ialah kurangnya
pengalaman yang luas disebabkan oleh terbatasnya jenis informasi yang dapat
diterima serta keterbatasannya dalam orientasi dan mobilitas.
Lowenfeld
(Soemantri, 2005:73) mengemukakan banyak hal tentang bagaimana pengaruh
ketunanetraan terhadap proses-proses kognitif seperti ruang, synthesia, ketajaman sensori, daya
ingat, kreativitas, intelegensi, prestasi akademik, kemampuan bicara, dan
kemampuan membaca. Pada anak yang mengalami ketunanetraan setelah lahir, mereka
telah memiliki pemahaman ruang sebagai dasar dari ingatan visualnya. Seorang
yang tunanetra sejak lahir akan menggunakan schemata
sementara dan konsep-konsep verbal sebagai pengganti kesadaran ruangnya. Synthesia atau kecenderungan otomatis untuk
menghubungkan gambaran warna khusus dengan variasi suara, ide-ide, dan perasaan
sering Nampak jelas pada anak-anak yang mengalami ketunanetraan setelah masa
kanak-kanak atau sesudahnya. Jadi dalam hal tertentu tampak bahwa anak
tunanetra mungkin lebih superior dalam hal ketajaman sensori, ingatan maupun
kreativitasnya dibandingkan anak awas. Dalam hal prestasi akademis, pada
umumnya anak tunanetra memiliki nilai yang lebih rendah dalam bidang studi
matematika dibandingkan anak awas.
Apabila
ditinjau secara kuantitatif, perkembangan fungsih-fungsih kognitif anak
tunanetra tampaknya sulit untuk diidentifikasi. Menurut Kirley (Somantri,
2005:75) mengemukakan bahwa berdasarkan tes intelegensi menggunakan Hayes Binet
Scale ditemukan bahwa IQ anak tunanetra berkisar 45-160. Anak tunanetra
cenderung memiliki rata-rata skor comprehension
subtest yang lebih rendah daripada rata-rata pada skor subtes lainnya. Hal
ini dapat disebabkan oleh kurangnya pengalaman-pengalaman sosial dalam
kehidupannya, kurangnya kemampuan berfikir abstrack, serta kemampuannya
mengaplikasikan item-item tes yang sesuai dengan realita.
Selain itu, Lowenfeld (1948 dalam Mason & McCall,
1999:27) menyatakan bahwa ketunanetraan mengakibatkan tiga keterbatasan yang
serius pada perkembangan fungsi kognitif:
a. Dalam sebaran dan jenis pengalaman anak;
b. Dalam kemampuannya untuk bergerak di dalam lingkungannya;
c.
Dalam interaksinya
dengan lingkungannya.
Disisi lain Jan et al. (1977 dalam Mason & McCall,
1999:27) berpendapat bahwa masalah kognitif tersebut mungkin disebabkan oleh
kurang kayanya informasi, didasarkan pada fakta bahwa indera-indera lain tidak
dapat memproses informasi seefisien indera penglihatan.
Pada
akhirnya, bagaimana perkembangan kognitif anak tunanetra sangat tergantung pada
bagaimana jenis ketunanetraan anak, kapan terjadinya ketunanetraan, bagaimana
tingkat pendidikan anak, dan bagaimana stimuli lingkungan terhadap upaya-upaya
pengembangan kognitifnya.
E.
Perkembangan
motorik anak tunanetra
Perkembangan
motorik anak tunanetra cenderung lebih lambat dibandingkan dengan anak awas
pada umumnya. Kelambatan ini terjadi karena dalam perkembangan perilaku motorik
diperlukan adanya koordinasi funsional anatara neuromuscular system (system persyarafan dan otot) dan fungsih
psikis (kognitif, afektif dan konatif), serta kesempatan yang diberikan oleh
lingkungan. Pada anak tunanetra mungkin fungsineuromuscular systemnya tidak bermasalah tetapi fungsih psikisnya
kurang mendukung sehingga menjadi hambatan tersendiri dalam perkembangan
motoriknya. Hambatan dalam fungsih psikis ini secara langsung atau tidak
langsung terutama berpangkal dari ketidakmampuannya dalam melihat.
Perkembangan
perilaku motorik yang baik disamping menuntut koordinasi antara neuromuscular system dan fungsih psikis,
juga menuntut dua macam perilaku psikomotorik dasar locomotion) yang bersifat universal dikuasai oleh individu pada
masa bayi atau awal masa kanak-kanak, yaitu berjalan (walking) dan memegang benda (prehention).
Suatu
studi singkat tentang perkembangan bayi normal membuktikan bahwa fungsih mata
memegang peranan yang cukup beerarti dalam memberikan rangsangan terhadap
perkembangan perilaku motorik. Karenanya pada bayi tunanetra perlu diperhatikan
upaya-upaya untuk melengkapi kekurangan rangsangan visualnya. Sebagai gambaran,
berikut ini adalah tahap perkembangan perilaku motorik permulaan dalam
kaitannya dengan fungsih penglihatan.
1. Tahap
Sebelum Berjalan
Anak tunanetra juga mengikuti pola perkembangan
perilaku motorik yang sama, hanya saja faktor kecepatannya yang berbeda sebagai
akibat dari kurangnya rangsangan visual. Akibat ketunanetraannya tersebut,
gangguan atau hambatan yang terjadi dalam perkembangan koordinasi tangan dan
koordinasi badan akan berpengaruh pada perilaku motorik tunanetra dikemudian
hari (setelah dewasa)
a.
Koordinasi tangan
Pada
usia kira-kira 16 minggu, bayi normal akan mengikuti sebuah benda bergerak
dengan matanyakemudian berusaha untuk
menjangkaunya. Pada bayi tunanettra, hal tersebut tidak dialami dengan
sendirinya. Mereka tidak mengetahui apa yang ada di sekelilingnya, karena
cenderung diam dan tidak responsive. Karena itu perlu diciptakan suatu
lingkungan tersendiri sebagai pengalaman pengganti yang mampu merangsang
perkembangan gerak tunanetra sekaligus mengurangi keterlambatan perkembangan
ini.
b.
Koordinasi Badan
Pada
usia 18 minggu, bayi normal mulai belajar mengontrol gerak kepalanya. Pada bayi
tunanetra, kesempatan atau peristiwa alami semacam ini tentu tidak akan pernah
dijumpai. Oleh karena itu tanpa adanya pengalaman pengganti tidak mungkin anak
akan termotivasi untuk melakukan aktivitas seperti ini. Bayi tunanetra
cenderung diam atau mengadakan gerakan-gerakan yang kurang berarti yang disebut
dengan istilah blindism, seperti
menusuk-nusuk mata dengan jarinya, mengangguk-anggukkan kepala, menggoyang-goyangkan
kaki, atau sejenisnya yang umumnya kurang sedap untuk dipandang. Tanpa disadari
kebiasaan terhadap gerakan-gerakan ini biasanya terbawa sampai dewasa.
2. Tahap
Berjalan
Pada usia 15 bulan, pada anak tunanetra dalam usia yang
sama sangat kecil kemungkinannya dapat bergerak sama dengan anak awas. Ia akan
berjalan pada usia yang lebih tua dari usia dari anak awas. Hal tersebut
terjadi karena kurangnya motivasi atau pendorong baik yang sifatnya internal
maupun eksternal untuk mengalahkan kakinya pada posisi berdiri dengan maksud
mengambil benda yang ada disekitarnya. Anak tunanetra merasakan apa yang ada
didepannya adalah bahaya karena ia tidak tahu persis apa yang ada dan terjadi
didepannya. Ia tidak mampu mengidentifikasi melalui indera penglihatannya
segala objek atau peristiwa yang ada didepannya, karenanya anak tunanetra
sering mengalami ketakutan dan kecemasan ketika akan melangkahkan kakinya.
Kondisi ini biasanya cenderung dibawa sampai ia dewasa sehingga anak tunanetra
akan memilih untuk tetap tinggal dirumah
atau tempat yang sudah dikenalnya atau familiar dan menghindari untuk melakukan
eksplosrasi atau orientasi dan mobilitas ke tempat-tempat yang masih asing.
Keterbatasan ini karena anak tunanetra tidak pernah
mendapatkan kesempatan untuk melakukan observasi visual secara langsung
terhadap suatu gerakan seperti halnya anak awas. Sikap over protection, kasihan, tak acuh, serta pengertian tentang
kebutuhan, mengakibatkan keterbatasan anak dalam memperoleh pengalaman-pengalaman
dan keterampilan-keterampilan motorik tertentu.
Salah satu ketrbatasan yang menonjol pada anak tunanetra ialah kemampuan
dalam melakukan mobilitas (kemampuan berpindah-pindah tempat). Namun demikian,
kekurangmampuan ini diminimalkan melalui manipulasi lingkungan yang lebih
berarti yang memungkinkan anak tunanetra mampu mengembangkan pertumbuhan
jasmani dan geraknya secara bebas dan aman. Hambatan-hambatan perkembangan
motorik anak tunanetra berhubungan erat dengan ketidakmampuannya dalam
penglihatannya yang selanjutnya berpengaruh terhadap faktor psikis dan fisik
anak. manifestasinya tampak pada bagaimana cara berjalan dan menggerakan
tangannya. Pada saat b erjalan, kita jumpai bahwa anak tunanetra sering tampak
kaku, tegang, lamban, atau pelan, disertai dengan perasaan was-was dan penuh
kehati-hatian. Begitu pula pada saat anak menggunakan tangannya untuk melakukan
suatu aktivitas tertentu yang belum familiar, serta gerakan-gerakan tubuh yang
kurang harmonis.
F.
Perkembangan
emosi anak tunanetra
Salah satu variabel determinan
perkembangan emosi adalah variabel organisme, yaitu perubahan-perubahan
fisiologis yang terjadi bila seseorang mngalami emosi. Sedangkan variabel
lainnya ialah setimulus atau rangsangan yang menimbulkan emosi, serta respon atau
jawaban terhadap rangsangan yang datang dari lingkungannya.
Perkembangan
emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak
yang awas. Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan
anak tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa kanak-kanak, anak tunanetra
mungkin akan melakukan proses belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya,
namun hal ini tetap dirasakan tidak efisien karena dia tidak dapat melakukan
pengamatan terhadap reaksi lingkungannya secara tepat. Akibatnya pola emosi
yang ditampilkan mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan
oleh diri maupun lingkungannya.
Kesulitan
bagi anak tunanetra ialah ia tidak mampu belajar secara visual tentang
stimulus-stimulus apa saja yang harus diberi respon emosional serta
respon-respon apa saja yang diberikan terhadap stimulus-stimulus tersebut.
Dengan kata lain anak tunanetra memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi
secara emosional melalui ekspresi atau reaksi-reaksi wajah atau tubuh lainnya
untuk menyampaikan perasaan yang dirasakannya kepada orang lain. Bagi anak
tunanetra pernyataan-pernyataan emosi cenderung dilakukan dengan kata-kata atau
bersifat verbal dan ini pun dapat dilakukan secara tepat sejalan dengan
bertambahnya usia, kematangan intelektual, dan kemampuan berbicara atau
berbahasa. Dengan
diajarkan secara intensif, anak tunanetra juga mampu berkomunikasi secara
emosional melalui pernyataan emosi yang bersifat nonverbal.
Perkembangan
emosi anak tunanetra akan semakin terhambat bila anak tersebut mengalami
deprivasi emosi, yaitu keadaan dimana anak tunanetra tersebut kurang memiliki
kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih
sayang, kegembiraan, perhatian, dan kesenangan. Deprivasi emosi ini akan sangat
berpengaruh terhadap aspek perkembangan lainnya seperti kelambatan dalam
perkembangan fisik,motorik, bicara, intelektual, dan sosialnya. Disamping itu,
ada kecenderungan bahwa anak tunanetra yang dalam masa awal perkembangannya
mengalami deprivasi emosi akan bersifat menarik diri, mementingkan diri
sendiri, serta sangat menuntut pertolongan atau perhatian dan kasih sayang dari
orang-orang disekitarnya.
Masalah-masalah
lain yang sering muncul dan dihadapi dalam perkembanagan emosi anak tunanetra
ialah ditampilkannya gejala-gejala emosi yang tidak seimbang atau pola-pola
emosi yang negative dan berlebihan. Semua ini terutama berpangkal pada
ketidakmampuannya atau keterbatasannya dalam penglihatan serta
mengalaman-pengalaman yang dirasakan atau dihadapi dalam masa perkembangannya.
Beberapa gejala atau pola emosi yang negative dan berlebihan tersebut adalah
perasaan takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta kesedihan
yang berlabihan. Perasaan takut yang berlabihan pada anak tunanetra biasanya
berhubungan dengan meningkatnya kemampuan anak untuk mengenal bahaya serta
penilaian kritis terhadap lingkungannya. Sekaliapun
anak tunanetra tidak mampu melihat lingkungannya, perasaan malu seringkali
menghinggapi mereka. Hal ini terutama dalam memasuki duniayang masih asing
baginya. Sifat ini seringkali desebabkan karena keluarbiasaannya serta sebagai
reaksi terhadap ketidaktahuan dan ketidakpastian reaksi orang lain terhadap
diri dan perilakunya. (Soemantri, 2005:83)
G.
Perkembangan
sosial anak tunanetra
Anak
tunanetra lebih banyak menghadapi masalah dalam perkembangan sosial.
Hambatan-hambatan tersebut terutama muncul sebagai akibat langsung maupun tidak
langsung dari ketunanetraannya. Kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi
lingkungan social yang lebih luas atau baru, perasaan-perasaan rendah diri,
malu sikap-sikap masyarakat yang seringkali tidak menguntungkan seperti
penolakan, penghinaan, sikap tak acuh, ketidakjelasan tuntunan social, serta
terbatasnya kesempatan bagi anak untuk belajar tentang pola-pola tingkah laku
yang diterima merupakan kecenderungan tunanetra yang dapat mengakibatkan
perkembangan sosialnya menjadi terlambat. Kesulitan lain dalam melaksanakan
tugas perkembangan social ini ialah keterbatasan anak tunanetra untuk dapat
belajar social melalui proses identifikasi dan imitasi.
Pengalaman
social anak tunanetra pada usia dini yang tidak menyenangkan sebagai akibat
dari sikap dan perlakuan negative orang tua dan keluargannya akan sangat
merugikan perkembangan anak tunanetra. Masa sosialisasi sesungguhnya akan
terjadi pada saat anak memasuki lingkungan pendidikan kedua, yaitu sekolah.
Ketidaksiapan mental anak tunannetra dalam memasuki sekolah atau lingkungan
baru atau kelompok lain yang berbeda atau lebih luas seringkali mengakibatkan
anak tunanetra gagal dalam mengembangkan kemampuan sosialnya. Pada akhirnya
dapat disimpulkan bahwa bagaimana perkembangan social anak tunanetra sangat
tergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama
lingkungan keluarga terhadap anak tunanetra itu sendiri. Akibat ketunanetraan
secara langsung atau tidak langsung, akan berpengaruh terhadap perkembangan
social anak seperti keterbatasan anak untuk belajar sosial melalui identifikasi
maupun imitasi, keterbatasn linkungan yang dapat dimasuki anak untuk memenuhi
kebutuhan ssosialnya, serta adanya faktor-faktor
psikologis yang menghambat keinginan anak untuk memasuki lingkungan sosialnya
secara bebas dan aman.
H.
Perkembangan
kepribadian anak tunanetra
Berbagai
hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa perbedaan sifat
kepribadian antara anak tunanetra dengan anak awas. Ada kecenderungan anak
tunnetra relative lebih banyak yang mengalami gangguan kepribadian dicirikan
dengan introversi, neurotic, frustasi dan regiditas (kekakuan) mental. Untuk
memasuki lingkungan baru, seorang anak tunanetra harus dibantu oleh ibu atau
orang tuanya melalui proses komunikasi verbal, memberikan semangat, dan
memberikan gambaran lingkungan tersebut sejelas-jelasnya seperti anak tunanetra
mengenal tubuhnya. Anak-anak tunanetra yang tergolong setengah melihat memiliki
kesulitan yang lebih besar dalam menemukan konsep diri dibanding orang yang
buta total. Kesulitan tersebut terjadi karena mereka sering mengalami konflik
identitas dimana suatu saat ia oleh lingkunganya disebut anak awas tetapi pada
saat yang lain disebut sebagai orang buta atau tunanetra. Bahkan seringkali
ditemukan anak-anak tunanetra golongan ini mengalami krisis identitas yang
berkepanjangan.
Pandangan
psikoanalisis, keberadaan mata memiliki signifikansi dengan organ seksual dan
kebutaan dengan pengkebirian (castration).
Bila kebutaan terjadi pada saat ego mulai berkembang, maka pengalaman traumatik
tidak akan dapat dihindari. Menurut Sommer (Soemantri, 2005:87) menyatakan bahwa
anak tunanetra cenderung memiliki sifat-sifat yang berlebihan, menghindari
kontak sosial, mempertahankan diri dan menyalahkan orang lain, serta mengakui
kecacatannya.
I.
Masalah
Dan Dampak Ketunanetraan Bagi Keluarga, Mayarakat dan Penyelenngraan Pendidikan.
1. Masalah-masalah yang dihadapi anak
tunanetra
Semua permasalah anak tunanetra baik yang
berhubungan dengan masalah pendidikan, sosial, emosi, kesehatan, pengisian
wakrtu luang maupun pekerjaan perlu diantisipasi dengan memberikan layanan
pendidikan, arahan, bimbingan, latihan, dan kesempatan yang luas bagi anak
tunanetra sehingga permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul dalam berbagai
aspek tersebut dapat ditanggulangi sedini mungkin.
2. Dampak ketunanetraan bagi keluarga,
masyarakat, dan penyelenggara pendidikan
Beberapa penilaian yang termasuk negatif menyatakan
bahwa penyandang tunanetra pada umumnya memiliki sikap tidak berdaya, sifat
ketergantungan, memiliki tingkat kemampuan rendah dalam orientasi waktu, tidak
suka berenang, menikmati suara dari televise, tidak pernah merasakan
kebahagiaan, memiliki sifat kepribadian yang penuh dengan frustasi-frustasi,
kaku, resisten terhadap perubahan-perubahan, cenderung kaku dan cepat menarik
tangan dari lawannya pada saat bersalaman, serta mudah mengalami kebingungan
ketika memasuki lingkungan yang tidak familiar yang d itunjukkan dengan
perilaku-perilaku yang tidak tepat. Dalam faktor penyebab, sebagian besar orang
awam percaya bahwa ketunanetraan disebabkan oleh hukuman atas dosa-dosa orang
tuanya, namun kalangan yang lebih profesioanl memandang bahwa hal tersebut
disebabkan oleh faktor keturunan atau terjadinya infeksi beberapa penyakit
tertentu.
Namun dalam pandangan orang awas, orang tunanetra
juga sering memiliki kelebihan yang sifatnya positif seperti kepekaan terhadap
suara, perabaan, ingatan, keterampilan dalam memainkan alat music, serta
ketertarikan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral dan agama. Sikap tunanetra
tehadap kebutaannya dikatakan oleh Bauman (Soemantri:1975) bahwa keberhasilan
dalam penyesuaian sosial dan ekonomi pada penyandang cacat tunanetra berkaitan
erat dengan sikap-sikap diri dan keluarganya terhadap penerimaan secara
emosional yang realistic terhadap kebutaannya serta pemilikan kemampuan
intelektual dan stabilitas psikologis dan sebagainya.
Ditemukan bahwa sikap-sikap salah suai dan
bentuk-bentuk gangguan kepribadian lain pada anak tunanetra pada umumnya bukan
karena sebab-sebab psikopatologis. Kondisi seperti ini setelah ditelusuri
ternyata lebih banyak disebabkan oleh pengnaruh-pengaruh sikap sosial dari
lingkungannya terutama keluarga. Bagaimana reaksi orang tua tersebut dalam
menerima kehadiran anaknya yang tunanetra akan sangat berpengaruh terhadap
keseluruhan perkembangan pribadi-pribadi anak dikemudian hari. Reaksi orang tua
terhadap ketunanetraan anaknya pada umumnya dapat dibagi menjadi lima kelompok
yaitu:
a. Penerimaan
secara realistik terhadap anak dan ketunanetraannya.
b. Penyangkalan
terhadap ketunanetraan anak
c. Overprotection
atau perlindungan yang berlebihan
d. Penolakan
secara tertutup
e. Penolakan
secara terbuka
Mengenai
sikap para guru sebagai penyelenggaraan pendidikan, hasil penelitian Murphy
(Soemantri, 2005:91) menunjukkan bahwa pada umumnya para guru (guru umum dang
uru PLB) cenderung mengesampingkan anak tunanetra. Namun diketahui pulan bahwa para guru khusus (guru PLB) senderung
lebih bersikap positif terhadap anak tunanetra.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2006).
Identifikasi Anak Berkebutuhan Pendidikan Khusus dalam Pendidikan Inklusif,
diambil dari http://www.ditplb.or.id
Jernigan, K., (1994). If Blindness Comes. USA: National
Federation of the Blind.
Mason, H. & McCall, S. (Eds.).
(1999). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People.
London: David Fulton Publishers
Pertuni (2004). Anggaran Rumah Tangga Persatuan Tunanetra
Indonesia. Jakarta: Pertuni.
Tarsidi didi,(2007). Ortopedagogik
Anak Tunanetra. Bandung. UPI Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar