TUMBUH KEMBANG ANAK TUNANETRA


TUMBUH KEMBANG ANAK TUNANETRA

A.    Latar Belakang
      Perkembangan individu merupakan periode khusus dan sulit dari rentang hidup seseorang dan kesulitan ini meningkat apabila ada rintangan yang mengganggu atau menghambat perkembangan. Salah satu rintangan tersebut diantaranya adalah hambatan fisik. Hambatan fisik menghalangi seseorang mengerjakan apa yang dilakukan oleh orang lain pada usia yang sama, sehingga dapat menggagalkan penguasaan tugas-tugas perkembangan sebagian atau seluruhnya . Dan alah satu hambatan fisik yang dialami oleh seseorang dapat berupa ketunaan, yakni salah satunya adalah tunanetra.
      Istilah tunanetra mulai populer dalam dunia pendidikan yang dirasa cukup tepat menggambarkan keadaan penderita yang mengalami kelainan indera penglihatan, baik bersifat berat maupun ringan. Istilah tersebut melukiskan keadaan mata yang rusak baik sebelah maupun seluruhnya (kedua-duanya), sehingga mata tidak lagi dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
      Orang tunanetra mengalami tiga keterbatasan (Lowenfeld, 1948). Keterbatasan pertama, kontrol lingkungan dan diri dalam hubungannya dengan lingkungan, dimana hal ini dapat berpengaruh terhadap penerimaan informasi dalam interaksi sosial. Keterbatasan kedua adalah mobilitas. Apabila keterbatasan ini tidak ditangani dengan memberikan pelatihan kepada orang tunanetra, maka orang tunanetra akan menghadapi kesulitan dalam melakukan interaksi dengan lingkungan. Kemungkinan dia akan kesulitan mempelajari lingkungan yang baru tanpa adanya bantuan dari orang lain, atau dia akan berkesulitan menemukan landmark khusus yang hanya dijelaskan dalam bentuk pengenalan verbal. Keterbatasan ketiga adalah dalam tingkat dan keanekaragaman konsep. Orang tunanetra yang ketunanetraannya diperoleh sejak lahir akan menghadapi kesulitan ketika memperoleh konsep-konsep yang baru, seperti perkembangan teknologi, pakaian, dan perubahan dalam lingkungan. Keterbatasan ini merupakan masalah utama yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan orang tunanetra yang diperoleh sejak lahir karena pengembangan konsep merupakan dasar dari belajar akademik, social, dan psikomotor..
      Cutsforth (dalam Tarsidi, 2007) mengatakan bahwa ketidakmampuan diri pada seorang tunanetra lebih diakibatkan oleh cara masyarakat memperlakukan orang tunanetra tersebut. Dari beberapa hasil penelitian mengenai pandangan orang berpenglihatan normal terhadap penyandang tunanetra adalah bahwa penyandang tunanetra memiliki beberapa karakteristik, baik yang sifatnya positif maupun negatif. Beberapa penilaian yang termasuk negatif memandang bahwa penyandang tunanetra sebagai suatu ketidakberdayaan, suka tergantung pada orang lain dan mereka mengidentikkan kehilangan penglihatan itu dengan kehilangan segala-galanya. Sedangkan penilaian yang termasuk positif memandang bahwa kecacatan akan mengubah penghayatan dari kehidupan yang tidak bermakna (meaningles) menjadi bermakna (meaningful).
      Motivasi sangat berpengaruh penting dalam pengembangan potensi diri. Motivasi itu tidak sebatas dari dirinya sendiri tetapi juga dari orang tua,  keluarga dan lingkungannya, baik secara langsung maupun tidak langsung turut memberikan andil bagi keberhasilannya. Dengan motivasi dan keyakinan yang dimiliki individu dapat menentukan tujuan yang ingin dicapainya.

B.     Pengertian Gangguan Penglihatan (Tunanetra)
      Tunanetra Indonesia / Pertuni (2004) mendefinisikan ketunanetraan sebagai berikut: Orang tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan cahaya normal meskipun dibantu dengan kaca mata (kurang awas).
      Terdapat sejenis konsensus internasional untuk menggunakan dua jenis definisi sehubungan dengan kehilangan penglihatan:
1.      Definisi legal (definisi berdasarkan peraturan perundang-undangan)
Definisi legal terutama dipergunakan oleh profesi medis untuk menentukan apakah seseorang berhak memperoleh akses terhadap keuntungan-keuntungan tertentu sebagai mana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti jenis asuransi tertentu, bebas bea transportasi, atau untuk menentukan perangkat alat bantu yang sesuai dengan kebutuhannya, dsb. Dalam definisi legal ini, ada dua aspek yang diukur:
-   Ketajaman penglihatan (visual acuity) dan 
-   Medan pandang (visual field).
Cara yang paling umum untuk mengukur ketajaman penglihatan adalah dengan menggunakan Snellen Chart yang terdiri dari huruf-huruf atau angka-angka atau gambar-gambar yang disusun berbaris-baris berdasarkan ukuran besarnya (lihat Gambar 1.1)

Gambar 4.1: Snellen chart (dikutip dari Mason & McCall, 1999)
Berdasarkan hasil tes ketajaman penglihatan dengan Snellen Chart, Organisasi Kesehatan Dunia / WHO (Mason & McCall, 1999) mengklasifikasikan penglihatan orang sebagai ”normal”, ”low Vision”, atau ”blind” seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 1: Klasifikasi Ketajaman Penglihatan menurut WHO Ketajaman Penglihatan

6/6 hingga 6/18
Normal vision (penglihatan normal)
<6/18 hingga >3/60
Low vision (kurang awas)
<3/60
Blind (buta)

Akan tetapi, tidak semua negara menggunakan definisi tunanetra menurut WHO itu. Satu definisi lain yang banyak dipakai sebagai acuan adalah definisi menurut hukum Amerika Serikat. Seseorang dikatakan ”legally blind” menurut undang-undang Amerika Serikat apabila penglihatan pada mata terbaiknya, setelah menggunakan lensa korektif, adalah 20/200 atau kurang, dengan medan pandang 20 derajat atau kurang (Jernigan, 1994). 20/200 artinya testee hanya mampu membaca huruf-huruf tertentu pada Snellen Chart dari jarak 20 feet, sedangkan orang dengan penglihatan normal mampu membacanya dari jarak 200 feet. Sementara WHO menggunakan meter sebagai satuan ukuran jarak dari testee ke Snellen Chart, Amerika Serikat menggunakan feet sebagai satuan ukuran. 200 feet kira-kira sama dengan 60 meter. Medan pandang (visual field) adalah luasnya wilayah yang dapat dilihat orang tanpa menggerakkan matanya. (Dalam beberapa literatur, visual field diterjemahkan sebagai ”lantang pandang”). Mata dengan penglihatan normal mempunyai medan pandang 180 derajat. Ini berarti jika anda merentangkan kedua belah lengan anda ke kiri dan kanan sementara anda melihat ke depan, anda akan dapat melihat tangan kiri dan tangan kanan anda tanpa harus menoleh. Orang yang medan pandangnya sangat sempit ibarat melihat melalui sebuah cerobong; dia harus menolehkan wajahnya ke kiri dan kanan untuk dapat melihat lebih banyak. 

2.      Definisi edukasional (definisi untuk tujuan pendidikan) atau definisi fungsional yaitu yang difokuskan pada seberapa banyak sisa penglihatan seseorang dapat bermanfaat untuk keberfungsiannya sehari-hari.
Secara edukasional, seseorang dikatakan tunanetra apabila untuk kegiatan pembelajarannya dia memerlukan alat bantu khusus, metode khusus atau teknik-teknik tertentu sehingga dia dapat belajar tanpa penglihatan atau dengan penglihatan yang terbatas. Berdasarkan cara pembelajarannya, ketunanetraan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu buta (blind) atau tunanetra berat dan kurang awas (low vision) atau tunanetra ringan. Seseorang dikatakan tunanetra berat (blind) apabila dia sama sekali tidak memiliki penglihatan atau hanya memiliki persepsi cahaya, sehingga untuk keperluan belajarnya dia harus menggunakan indera-indera non-penglihatan. Misalnya, untuk membaca dia mengunakan tulisan Braille yang dibaca melalui ujung-ujung jari, atau rekaman audio yang ”dibaca” melalui pendengaran. Seseorang dikatakan tunanetra ringan (low vision) apabila setelah dikoreksi penglihatannya masih sedemikian buruk tetapi fungsi penglihatannya dapat ditingkatkan melalui penggunaan alat-alat bantu optik dan modifikasi lingkungan. Siswa kurang awas belajar melalui penglihatan dan indera-indera lainnya. Dia mungkin akan membaca tulisan yang diperbesar (large print) dengan atau tanpa kaca pembesar, tetapi dia juga akan terbantu apabila belajar Braille atau menggunakan rekaman audio. Keberfungsian penglihatannya akan tergantung pada faktor-faktor seperti pencahayaan, alat bantu optik yang dipergunakannya, tugas yang dihadapinya, dan karakteristik pribadinya.
Secara lebih luas, Jernigan (1994) mendefinisikan ketunanetraan berdasarkan keberfungsian dalam kehidupan sehari-hari. Dia menulis, “One is blind to the extent that he must devise alternative techniques to do efficiently those things which he would do with sight if he had normal vision. An individual may properly be said to be "blind" or a "blind person" when he has to devise so many alternative techniques-that is, if he is to function efficiently-that his pattern of daily living is substantially altered”. Jadi, menurut Jernigan, seorang individu dapat dikatakan tunanetra apabila dia harus menggunakan begitu banyak teknik alternative untuk melakukan secara efektif hal-hal yang normalnya dilakukan menggunakan penglihatan agar dia dapat berfungsi dalam kehidupan sehari-hari secara efisien, sehingga pola kehidupannya pun menjadi sangat berubah.Teknik alternatif adalah cara khusus (baik dengan ataupun tanpa alat bantu khusus) yang memanfaatkan indera-indera nonvisual atau sisa indera penglihatan untuk melakukan suatu kegiatan yang normalnya dilakukan dengan indera penglihatan. Teknik-teknik alternatif itu diperlukannya dalam berbagai bidang kegiatan seperti dalam membaca dan menulis, bepergian, menggunakan komputer, menata rumah, menata diri, dll. Kadang-kadang teknologi diperlukan untuk membantu menciptakan teknik-teknik alternatif tersebut.
Disisi lain Soemantri (2005:65) mengemukakan bahwa pengertian tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Anak-anak dengan gangguan  penglihatan ini dapat diketahui dalam kondisi berikut:
§  Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas
§  Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu.
§  Posisis mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak.
§  Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan.
Dari kondisi-kondisi diatas, pada umumnya yang digunakan sebagai patokan apakah seorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatannya. Selain itu, anak tunanetra memiliki karakteristik kognitif, sosial, emosi, motorik, dan kepribadian yang sangat bervariasi. Hal ini sangat tergantung pada sejak kapan anak mengalami ketunanetraan, bagaimana tingkat ketajaman penglihatannya, berapa usianya, serta bagaimana tingkat pendidikannya.

C.    Faktor-faktor penyebab ketunanetraan
Faktor yang menyebabkan terjadinya ketunanetraan menurut  (DITPLB, 2006) antara lain:
1.      Prenatal
Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan, antara lain: 
a.       Keturunan
Ketunanetraan yang disebabkanoleh faktor keturunan terjadi dari hasil perkawinan bersaudara, sesama tunanetra atau mempunyai orang tua yang tunanetra. Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, penyakit pada retina yang umumnya merupakan keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit menyebabkan mundur atau memburuknya retina. Gejala pertama biasanyasukar melihat di malam hari, diikuti dengan hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit saja penglihatan pusat yang tertinggal. 
b.      Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan
Ketunanetraan yang disebabkan karena proses pertumbuhandalam kandungan dapat disebabkan oleh: 
-         Gangguan waktu ibu hamil.
-          Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah tertentu selamapertumbuhan janin dalam kandungan.
-         Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar air, dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung dan sistem susunan saraf pusat pada janin yang sedang berkembang.
-         Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor dapat terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera penglihatan atau pada bola mata itu sendiri.
-         Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata sehingga hilangnya fungsi penglihatan.
2.      Post-natal
Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau setelah bayi lahir antara lain: 
a.       Kerusakan pada mata atau saraf mata padawaktu persalinan, akibat benturan alat-alat atau benda keras.
b.      Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga baksil gonorrhoe menular pada bayi, yang pada akhirnya setelah bayi lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya penglihatan. 
c.       Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya: 
-    Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A.
a.       Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.
b.      Catarac; yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa mata menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih.
c.       Glaucoma; yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola mata, sehingga tekanan pada bola mata meningkat.
d.      Diabetik Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang disebabkan karena diabetis. Retina penuh dengan pembuluh-pembuluhdarah dan dapat dipengaruhi oleh kerusakan sistem sirkulasi hingga merusak penglihatan.
e.       Macular Degeneration; adalah kondisi umum yang agak baik, dimana daerah tengah dari retina secara berangsur memburuk.Anak dengan retina degenerasi masih memiliki penglihatan perifer akan tetapi kehilangan kemampuan untuk melihat secara jelas objek-objek di bagian tengah bidang penglihatan.
f.        Retinopathy of prematurity; biasanya anak yang mengalami ini karena lahirnya terlalu prematur. Pada saat lahir masih memiliki potensi penglihatan yang normal. Bayi yang dilahirkan prematur biasanya ditempatkan pada inkubator yang berisi oksigen dengan kadar tinggi, sehingga pada saat bayi dikeluarkan dariinkubator terjadi perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah menjadi tidak normal dan meninggalkan semacam bekas luka pada jaringan mata. Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala
(retina) dan tunanetra total.
d.                  Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan, dll.
Selain itu, menurut Soemantri (2005 : 66) secara ilmiah ketunanetraan anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor dalam diri anak (internal) ataupun faktor dari luar anak (eksternal). Hal-hal yang termasuk faktor internal yaitu faktor-faktor yang erat hubungannya dengan keadaan bayi selama masih dalam kandungan.  Kemungkinannya karena faktor gen (sifat pembawa keturunan), kondisi psikis ibu, kekurangan gizi, keracunan obat, dan sebagainya. Sedangkan hal-hal yang termasuk faktor eksternal diantaranya faktor-faktor yang terjadi pada saat atau sesudah bayi dilahirkan. Misalnya: kecelakaan, terkena penyakit syphilis yang mengenai matanya saat dilahirkan, pengaruh alat bantu medis (tang) saat melahirkan sehingga system persyarafannya rusak, kurang gizi atau vitamin, terkena racun, virus trachoma, panas badan yang terlalu tinggi, serta peradangan mata karena penyakit, bakteri, ataupun virus.

D.    Perkembangan kognitif anak tunanetra
Akibat dari ketunanetraan, maka pengenalan atau pengertian terhadap dunia luar anak, tidak dapat diperoleh sacara lengkap dan utuh. Akibatnya perkembangan kognitif anak tunanetra cenderung terhambat dibandingkan dengananak-anak normal pada umumnya. Hal ini disebabkan perkembangan kognitif tidak saja erat kaitannya dengan kecerdasan atau kemampuan intelegensinya, tetapi juga dengan kemampuan indera penglihatannya.  Namun karena dorongan dan kebutuhan anak untuk tetap mengenal dunia sekitarnya, anak tunanetra biasanya menggantikannya dengan indera pendengaran, indera penciuman, dan indera peraba dan indera pengecapan sebagai saluran utama penerima informasi. Karena itu bagi tunanetra setiap bunyi yang didengarnya, bau yang diciumnya, kualitas kesan yang dirabanya dan rasa yang dicecapnya memiliki potensi dalam pengembangan kemampuan kognitifnya. Implikasinya, kebutuhan akan rangsangan sensoris bagi anak tunanetra harus benar-benar diperhatikan agar ia dapat mengembangkan pengetahuannya tentang benda-benda dan peristiwa-peristiwa yanga ada dilingkungannya.
Jika aktivitas imitasi pada anak normal diperoleh dengan imitasi visual, maka pada anak tunanetra harus dirangsang melalui stimuli pendengaran, disamping sisa pendengaran serta indera-indera lainnya. Selain itu, karena kurangnya stimuli visual, perkembangan bahasa anak tunanetra juga tertinggal dibanding anak awas. Pada anak tunanetra, kemampuan kosakata terbagi atas dua golongan yaitu kata-kata yang berarti bagi dirinya berdasarkan pengalaman sendiri, dan kata-kata verbalistis yang diperolehnya dari orang lain yang ia sendiri sering tidak memahaminya.
Akibat ketunanetraan membawa konsekuensi terhadap terhambatnya perkembangan kognitif anak tunanetra. Hal ini disebabkan perkembangan kemampuan kognitif seseorang menuntut partisipasi aktif, peran dan fungsi penglihatan sebagai saluran utama dalam melakukan pengamatan terhadap dunia luar. Sementara itu, anak tunanetra tidak memiliki kemampuan visual sebagai salah satu faktor penting dalam perkembangan kognitif yang jelas dibandingkan dengan anak pada umumnya, maka ketunanetraannya akan berakibat pada keterlambatan kognitif.
Pada tahapan sensorimotor yang ditandai dengan penggunaan sensori-motorik dalam pengamatan dan penginderaan yang intensif terhadap dunia sekitarnya, pada anak tunanetra prestasi intelektual dan perkembangan bahasa mungkin bukan masalah besar, asallingkungan memberikan stimuli yang kuat dan intensif terhadap anak. Menurut Piaget (dalam Soemantri, 2005: 71) pada tahapan ini dibandingkan anak normal, anak tunanetra akan mengalami kelambatan sekitar empat bulan. Pada tahapan pra-operasional yang ditandai dengan cara berfikir yang bersifat transduktif (menarik kesimpulan tentang sesuatu yang khusus atas dasar hal yang khusus ; sapi disebut kerbau), dominasi pengamatan yang bersifat egosentris (belum memahami cara orang memandang objek yang sama), serta bersifat searah, anak tunanetra cenderung mengalami hambatan atau kesulitan dalam cara-cara bberfikir seperti itu mengakibatkan kesulitan belajar mengklasifikasikan objek-objek atas dasar satu cirri yang mencolok (menonjol) atau criteria tertentu. Menurut Piaget (dalam Soemantri, 2005: 72) kalau dibandingkan dengan anak normal maka keterlambatan tersebut sekitar dua bulan.
Pada tahap operasional konkret yang ditandai dengan kemampuan anak dalam mengklasifikasikan, menyusun, mengasosiasikan angka-angka atau bilangan, serta proses berfikir, walaupun masih terikat dengan objek-objek yang bersifat konkret, anak tunanetra dapat mengoperasikan kaidah-kaidah logika dalam batas-batas tertentu, namun secara umum hal ini akan sulit dilakukan.
Pada tahapan operasional formal yang ditandai dengan kemampuan untuk mengoperasikan kaidah-kaidah formal yang tidak terikat lagi dengan objek-objek yang bersifat konkret, seperti kemampuan berfikir hipotesis deduktif (hypothetic deductive thinking), mengembangkan suatu kemungkinan berdasar dua atau lebih kemungkinan (a combination thinking), mengembangkan suatu proporsi atau dasar-dasar proporsi yang diketahui, serta kemampuan menarik generalisasi dan inferensi dari berbagai kategoro objek yang bervariasi, anak tunanetra dalam hal-hal tertentu mungkin dapat melakukan dengan baik walaupun sifatnya sanggat verbalistis. Pencapaian tahapan operasi formal ini juga tidak akan dicapai secara utuh oleh anak tunanetra. Masalah lain yang menghambat ialah kurangnya pengalaman yang luas disebabkan oleh terbatasnya jenis informasi yang dapat diterima serta keterbatasannya dalam orientasi dan mobilitas.
Lowenfeld (Soemantri, 2005:73) mengemukakan banyak hal tentang bagaimana pengaruh ketunanetraan terhadap proses-proses kognitif seperti ruang, synthesia, ketajaman sensori, daya ingat, kreativitas, intelegensi, prestasi akademik, kemampuan bicara, dan kemampuan membaca. Pada anak yang mengalami ketunanetraan setelah lahir, mereka telah memiliki pemahaman ruang sebagai dasar dari ingatan visualnya. Seorang yang tunanetra sejak lahir akan menggunakan schemata sementara dan konsep-konsep verbal sebagai pengganti kesadaran ruangnya. Synthesia  atau kecenderungan otomatis untuk menghubungkan gambaran warna khusus dengan variasi suara, ide-ide, dan perasaan sering Nampak jelas pada anak-anak yang mengalami ketunanetraan setelah masa kanak-kanak atau sesudahnya. Jadi dalam hal tertentu tampak bahwa anak tunanetra mungkin lebih superior dalam hal ketajaman sensori, ingatan maupun kreativitasnya dibandingkan anak awas. Dalam hal prestasi akademis, pada umumnya anak tunanetra memiliki nilai yang lebih rendah dalam bidang studi matematika dibandingkan anak awas.
Apabila ditinjau secara kuantitatif, perkembangan fungsih-fungsih kognitif anak tunanetra tampaknya sulit untuk diidentifikasi. Menurut Kirley (Somantri, 2005:75) mengemukakan bahwa berdasarkan tes intelegensi menggunakan Hayes Binet Scale ditemukan bahwa IQ anak tunanetra berkisar 45-160. Anak tunanetra cenderung memiliki rata-rata skor comprehension subtest yang lebih rendah daripada rata-rata pada skor subtes lainnya. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya pengalaman-pengalaman sosial dalam kehidupannya, kurangnya kemampuan berfikir abstrack, serta kemampuannya mengaplikasikan item-item tes yang sesuai dengan realita.
Selain itu, Lowenfeld (1948 dalam Mason & McCall, 1999:27) menyatakan bahwa ketunanetraan mengakibatkan tiga keterbatasan yang serius pada perkembangan fungsi kognitif:
a.       Dalam sebaran dan jenis pengalaman anak;
b.      Dalam kemampuannya untuk bergerak di dalam lingkungannya;
c.       Dalam interaksinya dengan lingkungannya. 
Disisi lain Jan et al. (1977 dalam Mason & McCall, 1999:27) berpendapat bahwa masalah kognitif tersebut mungkin disebabkan oleh kurang kayanya informasi, didasarkan pada fakta bahwa indera-indera lain tidak dapat memproses informasi seefisien indera penglihatan.
Pada akhirnya, bagaimana perkembangan kognitif anak tunanetra sangat tergantung pada bagaimana jenis ketunanetraan anak, kapan terjadinya ketunanetraan, bagaimana tingkat pendidikan anak, dan bagaimana stimuli lingkungan terhadap upaya-upaya pengembangan kognitifnya.

E.     Perkembangan motorik anak tunanetra
Perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lebih lambat dibandingkan dengan anak awas pada umumnya. Kelambatan ini terjadi karena dalam perkembangan perilaku motorik diperlukan adanya koordinasi funsional anatara neuromuscular system (system persyarafan dan otot) dan fungsih psikis (kognitif, afektif dan konatif), serta kesempatan yang diberikan oleh lingkungan. Pada anak tunanetra mungkin fungsineuromuscular systemnya tidak bermasalah tetapi fungsih psikisnya kurang mendukung sehingga menjadi hambatan tersendiri dalam perkembangan motoriknya. Hambatan dalam fungsih psikis ini secara langsung atau tidak langsung terutama berpangkal dari ketidakmampuannya dalam melihat.
Perkembangan perilaku motorik yang baik disamping menuntut koordinasi antara neuromuscular system dan fungsih psikis, juga menuntut dua macam perilaku psikomotorik dasar locomotion) yang bersifat universal dikuasai oleh individu pada masa bayi atau awal masa kanak-kanak, yaitu berjalan (walking) dan memegang benda (prehention).
Suatu studi singkat tentang perkembangan bayi normal membuktikan bahwa fungsih mata memegang peranan yang cukup beerarti dalam memberikan rangsangan terhadap perkembangan perilaku motorik. Karenanya pada bayi tunanetra perlu diperhatikan upaya-upaya untuk melengkapi kekurangan rangsangan visualnya. Sebagai gambaran, berikut ini adalah tahap perkembangan perilaku motorik permulaan dalam kaitannya dengan fungsih penglihatan.
1.      Tahap Sebelum Berjalan
Anak tunanetra juga mengikuti pola perkembangan perilaku motorik yang sama, hanya saja faktor kecepatannya yang berbeda sebagai akibat dari kurangnya rangsangan visual. Akibat ketunanetraannya tersebut, gangguan atau hambatan yang terjadi dalam perkembangan koordinasi tangan dan koordinasi badan akan berpengaruh pada perilaku motorik tunanetra dikemudian hari (setelah dewasa)
a.       Koordinasi tangan
Pada usia kira-kira 16 minggu, bayi normal akan mengikuti sebuah benda bergerak dengan matanyakemudian  berusaha untuk menjangkaunya. Pada bayi tunanettra, hal tersebut tidak dialami dengan sendirinya. Mereka tidak mengetahui apa yang ada di sekelilingnya, karena cenderung diam dan tidak responsive. Karena itu perlu diciptakan suatu lingkungan tersendiri sebagai pengalaman pengganti yang mampu merangsang perkembangan gerak tunanetra sekaligus mengurangi keterlambatan perkembangan ini.
b.      Koordinasi Badan
Pada usia 18 minggu, bayi normal mulai belajar mengontrol gerak kepalanya. Pada bayi tunanetra, kesempatan atau peristiwa alami semacam ini tentu tidak akan pernah dijumpai. Oleh karena itu tanpa adanya pengalaman pengganti tidak mungkin anak akan termotivasi untuk melakukan aktivitas seperti ini. Bayi tunanetra cenderung diam atau mengadakan gerakan-gerakan yang kurang berarti yang disebut dengan istilah blindism, seperti menusuk-nusuk mata dengan jarinya, mengangguk-anggukkan kepala, menggoyang-goyangkan kaki, atau sejenisnya yang umumnya kurang sedap untuk dipandang. Tanpa disadari kebiasaan terhadap gerakan-gerakan ini biasanya terbawa sampai dewasa.

2.      Tahap Berjalan
Pada usia 15 bulan, pada anak tunanetra dalam usia yang sama sangat kecil kemungkinannya dapat bergerak sama dengan anak awas. Ia akan berjalan pada usia yang lebih tua dari usia dari anak awas. Hal tersebut terjadi karena kurangnya motivasi atau pendorong baik yang sifatnya internal maupun eksternal untuk mengalahkan kakinya pada posisi berdiri dengan maksud mengambil benda yang ada disekitarnya. Anak tunanetra merasakan apa yang ada didepannya adalah bahaya karena ia tidak tahu persis apa yang ada dan terjadi didepannya. Ia tidak mampu mengidentifikasi melalui indera penglihatannya segala objek atau peristiwa yang ada didepannya, karenanya anak tunanetra sering mengalami ketakutan dan kecemasan ketika akan melangkahkan kakinya. Kondisi ini biasanya cenderung dibawa sampai ia dewasa sehingga anak tunanetra akan  memilih untuk tetap tinggal dirumah atau tempat yang sudah dikenalnya atau familiar dan menghindari untuk melakukan eksplosrasi atau orientasi dan mobilitas ke tempat-tempat yang masih asing.
Keterbatasan ini karena anak tunanetra tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk melakukan observasi visual secara langsung terhadap suatu gerakan seperti halnya anak awas. Sikap over protection, kasihan, tak acuh, serta pengertian tentang kebutuhan, mengakibatkan keterbatasan anak dalam memperoleh pengalaman-pengalaman dan keterampilan-keterampilan motorik tertentu.  Salah satu ketrbatasan yang menonjol pada anak tunanetra ialah kemampuan dalam melakukan mobilitas (kemampuan berpindah-pindah tempat). Namun demikian, kekurangmampuan ini diminimalkan melalui manipulasi lingkungan yang lebih berarti yang memungkinkan anak tunanetra mampu mengembangkan pertumbuhan jasmani dan geraknya secara bebas dan aman. Hambatan-hambatan perkembangan motorik anak tunanetra berhubungan erat dengan ketidakmampuannya dalam penglihatannya yang selanjutnya berpengaruh terhadap faktor psikis dan fisik anak. manifestasinya tampak pada bagaimana cara berjalan dan menggerakan tangannya. Pada saat b erjalan, kita jumpai bahwa anak tunanetra sering tampak kaku, tegang, lamban, atau pelan, disertai dengan perasaan was-was dan penuh kehati-hatian. Begitu pula pada saat anak menggunakan tangannya untuk melakukan suatu aktivitas tertentu yang belum familiar, serta gerakan-gerakan tubuh yang kurang harmonis.

F.     Perkembangan emosi anak tunanetra
Salah satu variabel determinan perkembangan emosi adalah variabel organisme, yaitu perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi bila seseorang mngalami emosi. Sedangkan variabel lainnya ialah setimulus atau rangsangan yang menimbulkan emosi, serta respon atau jawaban terhadap rangsangan yang datang dari lingkungannya.
Perkembangan emosi anak tunanetra akan sedikit mengalami hambatan dibandingkan dengan anak yang awas. Keterlambatan ini terutama disebabkan oleh keterbatasan kemampuan anak tunanetra dalam proses belajar. Pada awal masa kanak-kanak, anak tunanetra mungkin akan melakukan proses belajar mencoba-coba untuk menyatakan emosinya, namun hal ini tetap dirasakan tidak efisien karena dia tidak dapat melakukan pengamatan terhadap reaksi lingkungannya secara tepat. Akibatnya pola emosi yang ditampilkan mungkin berbeda atau tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh diri maupun lingkungannya.
Kesulitan bagi anak tunanetra ialah ia tidak mampu belajar secara visual tentang stimulus-stimulus apa saja yang harus diberi respon emosional serta respon-respon apa saja yang diberikan terhadap stimulus-stimulus tersebut. Dengan kata lain anak tunanetra memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi secara emosional melalui ekspresi atau reaksi-reaksi wajah atau tubuh lainnya untuk menyampaikan perasaan yang dirasakannya kepada orang lain. Bagi anak tunanetra pernyataan-pernyataan emosi cenderung dilakukan dengan kata-kata atau bersifat verbal dan ini pun dapat dilakukan secara tepat sejalan dengan bertambahnya usia, kematangan intelektual, dan kemampuan berbicara atau berbahasa.  Dengan diajarkan secara intensif, anak tunanetra juga mampu berkomunikasi secara emosional melalui pernyataan emosi yang bersifat nonverbal.
Perkembangan emosi anak tunanetra akan semakin terhambat bila anak tersebut mengalami deprivasi emosi, yaitu keadaan dimana anak tunanetra tersebut kurang memiliki kesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang menyenangkan seperti kasih sayang, kegembiraan, perhatian, dan kesenangan. Deprivasi emosi ini akan sangat berpengaruh terhadap aspek perkembangan lainnya seperti kelambatan dalam perkembangan fisik,motorik, bicara, intelektual, dan sosialnya. Disamping itu, ada kecenderungan bahwa anak tunanetra yang dalam masa awal perkembangannya mengalami deprivasi emosi akan bersifat menarik diri, mementingkan diri sendiri, serta sangat menuntut pertolongan atau perhatian dan kasih sayang dari orang-orang disekitarnya.
Masalah-masalah lain yang sering muncul dan dihadapi dalam perkembanagan emosi anak tunanetra ialah ditampilkannya gejala-gejala emosi yang tidak seimbang atau pola-pola emosi yang negative dan berlebihan. Semua ini terutama berpangkal pada ketidakmampuannya atau keterbatasannya dalam penglihatan serta mengalaman-pengalaman yang dirasakan atau dihadapi dalam masa perkembangannya. Beberapa gejala atau pola emosi yang negative dan berlebihan tersebut adalah perasaan takut, malu, khawatir, cemas, mudah marah, iri hati, serta kesedihan yang berlabihan. Perasaan takut yang berlabihan pada anak tunanetra biasanya berhubungan dengan meningkatnya kemampuan anak untuk mengenal bahaya serta penilaian kritis terhadap lingkungannya. Sekaliapun anak tunanetra tidak mampu melihat lingkungannya, perasaan malu seringkali menghinggapi mereka. Hal ini terutama dalam memasuki duniayang masih asing baginya. Sifat ini seringkali desebabkan karena keluarbiasaannya serta sebagai reaksi terhadap ketidaktahuan dan ketidakpastian reaksi orang lain terhadap diri dan perilakunya. (Soemantri, 2005:83)

G.    Perkembangan sosial anak tunanetra
Anak tunanetra lebih banyak menghadapi masalah dalam perkembangan sosial. Hambatan-hambatan tersebut terutama muncul sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari ketunanetraannya. Kurangnya motivasi, ketakutan menghadapi lingkungan social yang lebih luas atau baru, perasaan-perasaan rendah diri, malu sikap-sikap masyarakat yang seringkali tidak menguntungkan seperti penolakan, penghinaan, sikap tak acuh, ketidakjelasan tuntunan social, serta terbatasnya kesempatan bagi anak untuk belajar tentang pola-pola tingkah laku yang diterima merupakan kecenderungan tunanetra yang dapat mengakibatkan perkembangan sosialnya menjadi terlambat. Kesulitan lain dalam melaksanakan tugas perkembangan social ini ialah keterbatasan anak tunanetra untuk dapat belajar social melalui proses identifikasi dan imitasi.
Pengalaman social anak tunanetra pada usia dini yang tidak menyenangkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan negative orang tua dan keluargannya akan sangat merugikan perkembangan anak tunanetra. Masa sosialisasi sesungguhnya akan terjadi pada saat anak memasuki lingkungan pendidikan kedua, yaitu sekolah. Ketidaksiapan mental anak tunannetra dalam memasuki sekolah atau lingkungan baru atau kelompok lain yang berbeda atau lebih luas seringkali mengakibatkan anak tunanetra gagal dalam mengembangkan kemampuan sosialnya. Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa bagaimana perkembangan social anak tunanetra sangat tergantung pada bagaimana perlakuan dan penerimaan lingkungan terutama lingkungan keluarga terhadap anak tunanetra itu sendiri. Akibat ketunanetraan secara langsung atau tidak langsung, akan berpengaruh terhadap perkembangan social anak seperti keterbatasan anak untuk belajar sosial melalui identifikasi maupun imitasi, keterbatasn linkungan yang dapat dimasuki anak untuk memenuhi kebutuhan ssosialnya, serta adanya faktor-faktor psikologis yang menghambat keinginan anak untuk memasuki lingkungan sosialnya secara bebas dan aman.



H.    Perkembangan kepribadian anak tunanetra
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa perbedaan sifat kepribadian antara anak tunanetra dengan anak awas. Ada kecenderungan anak tunnetra relative lebih banyak yang mengalami gangguan kepribadian dicirikan dengan introversi, neurotic, frustasi dan regiditas (kekakuan) mental. Untuk memasuki lingkungan baru, seorang anak tunanetra harus dibantu oleh ibu atau orang tuanya melalui proses komunikasi verbal, memberikan semangat, dan memberikan gambaran lingkungan tersebut sejelas-jelasnya seperti anak tunanetra mengenal tubuhnya. Anak-anak tunanetra yang tergolong setengah melihat memiliki kesulitan yang lebih besar dalam menemukan konsep diri dibanding orang yang buta total. Kesulitan tersebut terjadi karena mereka sering mengalami konflik identitas dimana suatu saat ia oleh lingkunganya disebut anak awas tetapi pada saat yang lain disebut sebagai orang buta atau tunanetra. Bahkan seringkali ditemukan anak-anak tunanetra golongan ini mengalami krisis identitas yang berkepanjangan. 
Pandangan psikoanalisis, keberadaan mata memiliki signifikansi dengan organ seksual dan kebutaan dengan pengkebirian (castration). Bila kebutaan terjadi pada saat ego mulai berkembang, maka pengalaman traumatik tidak akan dapat dihindari. Menurut Sommer (Soemantri, 2005:87) menyatakan bahwa anak tunanetra cenderung memiliki sifat-sifat yang berlebihan, menghindari kontak sosial, mempertahankan diri dan menyalahkan orang lain, serta mengakui kecacatannya.

I.       Masalah Dan Dampak Ketunanetraan Bagi Keluarga, Mayarakat dan Penyelenngraan Pendidikan.
1.      Masalah-masalah yang dihadapi anak tunanetra
Semua permasalah anak tunanetra baik yang berhubungan dengan masalah pendidikan, sosial, emosi, kesehatan, pengisian wakrtu luang maupun pekerjaan perlu diantisipasi dengan memberikan layanan pendidikan, arahan, bimbingan, latihan, dan kesempatan yang luas bagi anak tunanetra sehingga permasalahan-permasalahan yang mungkin timbul dalam berbagai aspek tersebut dapat ditanggulangi sedini mungkin.
2.      Dampak ketunanetraan bagi keluarga, masyarakat, dan penyelenggara pendidikan
Beberapa penilaian yang termasuk negatif menyatakan bahwa penyandang tunanetra pada umumnya memiliki sikap tidak berdaya, sifat ketergantungan, memiliki tingkat kemampuan rendah dalam orientasi waktu, tidak suka berenang, menikmati suara dari televise, tidak pernah merasakan kebahagiaan, memiliki sifat kepribadian yang penuh dengan frustasi-frustasi, kaku, resisten terhadap perubahan-perubahan, cenderung kaku dan cepat menarik tangan dari lawannya pada saat bersalaman, serta mudah mengalami kebingungan ketika memasuki lingkungan yang tidak familiar yang d itunjukkan dengan perilaku-perilaku yang tidak tepat. Dalam faktor penyebab, sebagian besar orang awam percaya bahwa ketunanetraan disebabkan oleh hukuman atas dosa-dosa orang tuanya, namun kalangan yang lebih profesioanl memandang bahwa hal tersebut disebabkan oleh faktor keturunan atau terjadinya infeksi beberapa penyakit tertentu.
Namun dalam pandangan orang awas, orang tunanetra juga sering memiliki kelebihan yang sifatnya positif seperti kepekaan terhadap suara, perabaan, ingatan, keterampilan dalam memainkan alat music, serta ketertarikan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral dan agama. Sikap tunanetra tehadap kebutaannya dikatakan oleh Bauman (Soemantri:1975) bahwa keberhasilan dalam penyesuaian sosial dan ekonomi pada penyandang cacat tunanetra berkaitan erat dengan sikap-sikap diri dan keluarganya terhadap penerimaan secara emosional yang realistic terhadap kebutaannya serta pemilikan kemampuan intelektual dan stabilitas psikologis dan sebagainya.
Ditemukan bahwa sikap-sikap salah suai dan bentuk-bentuk gangguan kepribadian lain pada anak tunanetra pada umumnya bukan karena sebab-sebab psikopatologis. Kondisi seperti ini setelah ditelusuri ternyata lebih banyak disebabkan oleh pengnaruh-pengaruh sikap sosial dari lingkungannya terutama keluarga. Bagaimana reaksi orang tua tersebut dalam menerima kehadiran anaknya yang tunanetra akan sangat berpengaruh terhadap keseluruhan perkembangan pribadi-pribadi anak dikemudian hari. Reaksi orang tua terhadap ketunanetraan anaknya pada umumnya dapat dibagi menjadi lima kelompok yaitu:
a.       Penerimaan secara realistik terhadap anak dan ketunanetraannya.
b.      Penyangkalan terhadap ketunanetraan anak
c.       Overprotection atau perlindungan yang berlebihan
d.      Penolakan secara tertutup
e.       Penolakan secara terbuka
Mengenai sikap para guru sebagai penyelenggaraan pendidikan, hasil penelitian Murphy (Soemantri, 2005:91) menunjukkan bahwa pada umumnya para guru (guru umum dang uru PLB) cenderung mengesampingkan anak tunanetra. Namun diketahui pulan  bahwa para guru khusus (guru PLB) senderung lebih bersikap positif terhadap anak tunanetra.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa (2006). Identifikasi Anak Berkebutuhan Pendidikan Khusus dalam Pendidikan Inklusif, diambil dari http://www.ditplb.or.id
Jernigan, K., (1994). If Blindness Comes. USA: National Federation of the Blind.
Mason, H. & McCall, S. (Eds.). (1999). Visual Impairment: Access to Education for Children and Young People. London: David Fulton Publishers
Pertuni (2004). Anggaran Rumah Tangga Persatuan Tunanetra Indonesia. Jakarta: Pertuni. 
Tarsidi didi,(2007). Ortopedagogik Anak Tunanetra. Bandung. UPI Pers.














Tidak ada komentar: