APA PENDIDIKAN INKLUSI ITU?

A.    Sejarah pendidikan inklusi
Menurut Sunardi (2002) dalam makalah Program Pengajaran Individual dijelaskan sejarah pendidikan lnklusi. Pada awal XX, layanan PLB di sediakan di sekolah-sekolah khusus (segregatif) bagi penyandang gangguan penglihatan , gangguan pendengaran, cacat mental dan gangguan emosi. Penyediaan layanan PLB di sekolah biasa tidak dimungkinkan, karena pendidikan pada saat itu ditekankan pada pemberian ketrampilan membaca, menulis dan berhitung. Anak luar biasa kan mengalami kesulitan mengikuti kecepatan belajar anak-anak normal di sekolah biasa. Meskipun tujuan semula dari penyediaan layanan PLB di sekolah segregatif adalah menyiapkan anak luar biasa mengikuti pelajaran di sekolah biasa, tujuan ini tidak pernah terwujud, bahkan sekolah-sekolah khusus ini kemudian berubah fungsinya menjadi panti-panti pemeliharaan dan penampungan.
Pada tahun 1910, beberapa sekolah di kota besar mulai memberikan layanan pendidikan bagi anak luar biasa, itupun terbatas pada anak-anak cacat mental tingkat ringan dan sedang. Anak-anak ini dididik sepenuhnya di kelas-kelas khusus terpisah dari teman-teman sebaynya yang normal. Untuk itu, diperlukan instrumen asesmen untuk menjaring anak-anak yang harus dipisahkan di kelas khusus. Hasilnya adalah tes intelegensi yang dikembangkan oleh Alferd Binet dan Theodore Simon. Dengan temuan ini, kelas-kelas khusus bagi anak tuna grahita sedang dan ringan tumbuh menjamur di  Amerika Serikat. Keadaan ini berlangsung sampai pertengahan abad XX.
Perubahan terbesar mulai terjadi pada awal tahun 1960-an. Keberadaan kelas-kelas khusus ini mulai dipertanyakan. Pendidikan luar biasa di kelas-kelas khusus yang segregatif dianggap tidak etis, dapat mengakibatkan stigma yang akan terbawa oleh anak selama hidupnya, berpengaruh negatif pada harga diri anak, dan menghambat perkembangan sosialisasi anak. Secara filosofis, pendidikan segregatif ini juga tidak masuk akal, sebab tujuan pendidikan adalah menyiapkan anak hidup secara wajar dan layak di masyarakat, tetapi anak justru dipisahkan dari kehidupan masyarakat normal. Faktor lain yang dipertanyakan adalah jumlah penghuni kelas-kelas khusus secara tidak proposional sebagian besar justru terdiri dari anak-anak golongan minoritas. Dari beberapa kasus tersebut menunjukan bahwa telah terjadi salah identifikasi yang dapat disebabkan oleh tes intelegensi yang dipakai yang terbias oleh faktor bahasa dan budaya.
Berbagai kasus peradilanpun banyak bermunculan di berbagai negara bagian, yang intinya memprotes kasus-kasus diskriminasi dalam pendidikan dan asesmen anak dan kasus-kasus penempatan anak yang tidak tepat dan yang paling penting bagi dunia PLB saat itu adalah hasil penelitian. Terbukti bahwa tidak ada perbedaan prestasi belajar anak tuna grahita ringan dan sedang yang dididik di kelas khusus dan kelas biasa tanpa layanan khusus. Dengan demikian, bentuk layanan dengan tambahan biaya ekstra yang tidak kecil tidak efisien.
Pada saat itulah bentuk penyediaan pendidikan khusus terpisah dari pendidikan untuk anak normal mulai dipertanyakan. Pada pertengahan abad XX pula munculah konsep baru yang dikenal dengan mainstreaming atau normalisasi atau least restrictive environment. Konsep ini muncul pertama kali di Eropa. Mainstreaming disebut juga dengan pendidikan terpadu, yaitu pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkelainan bersekolah di sekolah umum, belajar bersama anak normal, tapi anak berkelainan harus menyesuaikan sistem yang berlaku di sekolah umum. Belajar dari model segregatif, model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan di sekolah umum. Alternatifnya yaitu: kelas biasa/reguler penuh; kelas biasa/reguler dengan tambahan bimbingan di dalam kelas; kelas biasa /reguler dengan tambahan bimbingan di luar kelas; kelas khusus dengan kesempatan bergabung di kelas biasa; kelas khusus penuh; sekolah khusus dan sekoalh khusus berasrama.
Dikutip dalam Herry Widyastono (2004) Selanjutnya pada era 90-an muncul model pendidikan inklusif, yang merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan. Secara formal ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang Pendidikan bagi Anak Berkelainan pada bulan Juni 1994 yang dihadiri oleh Menteri Pendidikan sedunia bahwa ”Prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah selama memunginkan semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka”.

B.     Pengertian pendidikan inklusi
Menurut Dirjen PLB 2007 Pendidikan inklusif adalah suatu bentuk sistem pendidikan di mana peserta didik berkebutuhan khusus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat dan oleh karena itu strategi pembelajarannya disesuaikan dengan kebutuhan dan karekteristik individu peserta didik.
Nasichin (2001) yang menjelaskan Pendidikan inklusi adalah pendidikan yang mengikutsertakan anak-anak yang berkebutuhan khusus untuk belajar bersama – sama dengan anak-anak sebayanya di sekolah umum , dan pada akhirnya mereka bagian dari masyarakat sekolah tersebut, sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif
Menurut Sapon-Shevin dalam Sunardi (2012), pendidikan inklusif didefinisi­kan sebagai sistem layanan PLB di yang mempersyaratkan agar semua ALB dilayani di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Untuk itu, Sapon-Shevin menekankan adanya restrukturisasi di sekolah sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber dan dukungan dari semua guru dan murid.
     Sedangkan menurut Stainback dan Stainback dalam Sunardi (2012) "sekolah yang inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah yang inklu­sif juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individualnya terpenuhi".  
Menurut Vaughn, Bos, dan Schumm dalam Sunardi (2012) dalam praktik, istilah inklusi sering dipakai bergantian dengan istilah mainstreaming, yang secara teori diartikan sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkebutuhan pendidikan khusus sesuai dengan kebutuhan individunya.  Penempatan ABK harus dipilih yang paling bebas di antara kelas biasa tanpa tambahan bimbingan khusus, kelas biasa dengan tambahan bimbingan khusus di dalam, kelas biasa dengan tambahan bimbingan khusus di luar, kelas khusus dengan kesempatan berada di kelas biasa, kelas khusus penuh, sekolah khusus, sekolah berasrama (panti), atau tempat khusus. Filsafatnya adalah inklusif, tetapi praktiknya berbagai alternatif tempat layanan. 
C.    Landasan penyelenggaraan pendidikan inklusi
Menurut Herry Widyastono (2004) Penyelenggaraan pendidikan inklusi mempunyai landasan filosofis, yuridis, pedagogis dan empiris seperti di bawah ini.
1)      Landasan Filosofis
Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut Bhineka Tunggal Ika.
Filsafat ini sebagai wujud pengakuan kebhinekaan manusia, baik kebhinekaan vertikal maupun horisontal yang mengemban misi tunggal sebagai umat Tuhan di muka bumi ini. Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan) dan hanyala satu bentuk kebhinekaan seperti halnya bahasa, budaya atau agama. Di dalam diri individu berkelainan pastilah dapat ditemukan keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam individu anak normal pasti terdapat juga kecacatan tertentu. Karena semua manusia tidak ada yang sempurna.
Hal ini juga sebaiknya diterapkan dalam sistem pendidikan yang memungkinkanadanya pergaulan atau interaksi antarsiswa yang beragam, sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih dan silih asuh.
2)      Landasan Yuridis
Landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusi adalah deklarasi Salamanca oleh para menteri pendidikan sedunia. Deklarasi ini sebenarnya penegasan kembali atas deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai deklarasi lanjutan yang berujung pada peraturan standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagi integral dari sistem pendidikan yang ada. Deklarasi Salamnca menekankan bahwa selama memunginkan semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka.
Di Indonesia, penerapan inklusi dijamin undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang dalam penejalasan pasal 15 antara lain menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik berkelainan diselenggarakan secara inklusif atau berupa sekolah khusus.
3)      Landasan Pedagogis
Pasal 3 Undang-undang No 20 tahun 2003 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kretaif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Jadi, melaui pendidikan, peserta didik berkelainan dibentuk menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab, yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan berpartispiasi dalam masyarakat. Tujuan ini mustahil tercapai jika sejak awal mereka diisolasikan dari teman sebayanya di sekolah-sekolah khusus. Betapapun kecilnya mereka harus diberi kesempatan bersama teman sebayanya.
4)      Landasan Empiris
Penelitian tentang inklusif telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak tahun1980-an. Penelitian yang berskala besar dipelopori oleh the National Academy of Science (Amerika Serikat). Hasilnya menunjukan bahwa klasifikasi dan penempatan anak berkelainan di sekolah, kelas, atau tempat khusus tidak efektif dan diskriminatif. Penelitian ini merekomendasikan agar pendidikan khusus secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil identifikasi yang tepat, yang betul-betul dapat menentukan anak berkelainan yang tergolong berat. Namun, beberapa pakar mengemukakan sangat sulit untuk melakukan identifikasi anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang sangat heterogen.
Beberapa penelitian kemudian melakukan meta analisis yang dilakukan oleh Carlberg dan Kavale(1980) terhadapa 50 buah penelitian; oleh Wang dan Barker (1994/1995) terhadap 11 buah penelitian; dan oleh Barker (1994) terhadap 13 buah penelitian, menunjukan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya. 

D.    Karakteristik Pendidikan Inklusif
Salah satu karakteristik terpenting dari sekolah inklusif adalah satu komu­nitas yang kohesif, menerima dan responsif terhadap kebutuhan individual setiap murid.  Untuk itu, Sapon-Shevin dalam Sunardi (2012: 7-8). mengemukakan lima profil pembelajaran di sekolah inklusif.
1)      Pendidikan inklusif berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang  hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. Guru mempunyai tanggungjawab menciptakan suasana kelas yang menampung semua anak secara penuh dengan menekankan suasana dan perilaku social yang menghargai perbedaan yang menyangkut kemampuan, kondisi fisik, social-ekonomi, suku, agama, dsb.
2)      Pendidikan inklusif berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas. Mengajar kelas yang memang dibuat heterogen memerlukan perubahan kurikulum secara mendasar. Guru di kelas inklusif secara konsisten akan bergeser dari pembelajaran yang kaku, berdasarkan buku teks, atau materi basal ke pembelajaran yang banyak melibatkan belajar kooperatif, tematik, berfikir kritis, pemecahan masalah, dan asesmen secara autentik.
3)      Pendidikan inklusif berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif. Perubahan dalam kurikulum berkaitan erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional di mana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak di kelas harus diganti dengan model murid-murid bekerja sama, saling mengajar, dan secara aktif berpartisipasi dalam pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya. Kaitan antara pembelajaran kooperatif dan kelas inklusif sekarang jelas; semua anak berada di satu kelas bukan untuk berkompetisi, tetapi untuk saling belajar dari yang lain.
4)      Pendidikan inklusif berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus-menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi. Meskipun guru selalu dikelilingi oleh orang lain, pekerjaan mengajar dapat menjadi profesi yang terisolasi. Aspek terpenting dari pendidikan inklusif meliputi pengajaran dengan tim, kolaborasi dan konsultasi, dan berbagai cara mengukur ketrampilan, pengetahuan, dan bantuan individu yang bertugas mendidik sekelompok anak. Kerjasama tim antara guru dengan profesi lain diperlukan, seperti paraprofesional, ahli bina bahasa dan wicara, petugas bimbingan, dsb. Meskipun untuk dapat bekerjasama dengan orang lain secara baik memerlukan pelatihan dan dorongan, kerjasama yang diinginkan ternyata dapat terwujud.
5)      Pendidikan inklusif berarti melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses perencanaan.   Pendidikan inklusif sangat bergantung kepada masukan orang­tua pada pendidikan anaknya, misalnya keterlibatan mereka dalam penyusunan Program Pengajaran Individual
Kelas inklusif menampung anak yang heterogen, ditangani oleh tenaga dari berbagai profesi sebagai satu tim, sehingga kebutuhan individual setiap anak dapat terpenuhi. Hal ini tentu saja menuntut banyak perubahan pada sistem pembelajaran konvensional seperti yang dipakai di Indone­sia sekarang.



E.     Perlunya pendidikan inklusif
Pendidikan inklusif perlu ada karena:
1.      Masih banyak anak usia sekolah belum mendapat layanan pendidikan yang baik.
2.      Pendidikan masih diskriminatif.
3.      Pembelajaran masih teacher centre
4.      Proses Belajar Mengajar (PBM) belum mengakomodasi kebutuhan siswa
5.      Lingkungan pendidikan masih belum ramah anak
6.      Pembelajaran masih belum berbasis learning style siswa.
7.      PBM belum dilaksanakan dengan aktif, kreatif, dan menyenangkan.
8.      Pembelajaran belum menghargai keberagaman
F.     Manfaat pendidikan inklusi
      Pelaksanaan pendidikan inklusi akan mampu mendorong terjadinya perubahan sikap lebih positif dari peserta didik terhadap adanya perbedaan melalui pendidikan yang dilakukan secara bersama-sama dan pada akhirnya akan mampu membentuk sebuah kelompok masyarakat yang tidak diskriminatif dan bahkan menjadi akomodatif terhadap semua orang
      Beberapa manfaat yang diperoleh dari pelaksaan pendidikan inklusi adalah
1.      bagi siswa
·         sejak dini siswa memiliki pemahamanyang baik terhadap perbedaan dan keberagaman
·         munculnya sikap empati pada siswa secara alamiah
·         munculnya budaya saling menghargai dan menghormati antar siswa
·         menurunkan terjadinya stigma dan labeling kepada semua anak, khusunya pada anak berkebutuhan khusus dan penyandang cacat
·         timbulnya budaya kooperatif dan kolaboratif pada siswa sehingga memungkinkan adanya saling bantu antar satu dengan yang lainnya
2.      bagi guru
·         lebih tertantang untuk mengembangkan berbagai metode pembelajaran
·         bertambahnya kemampuan dan pengetahuan guru tentang keberagaman siswa termasuk keunikan, karakteristik, dan sekaligus kebutuhannya
·         Terjalinnya komunikasi dan kerja sama dalam kemitraan antar guru  dan guru ahli bidang lain
·         menumbuhkembangkan sikap empati guru terhadao siswa termasuk siswa penyandang cacat / siswa berkebutuhan khusus
3.      bagi sekolah
·         memberikan kontribusi yang sangat besar bagi program wajib belajar
·         memberikan peluang terjadinya pemerataan pendidikan bagi semua kelompok masyarakat
·         menggunakan biaya yang relatif lebih efisien
·         mengakomodasi kebutuhan masyarakat
·         meningkatkan kualitas layanan pendidikan

G.    Isi Positif Pendidikan Inklusi :
1.      membangun kesadaran dan consensus pentingnya pendidikan influsi sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yg diskriminati
2.      melimbatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan local,memgumpulkan infomasi
3.      Semua anak pada setiap sistrit dan mengidintifikasi alasan mengapa mereka tidak sekolah
4.      mengindenfikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik,social,dan masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran
5.       melibatkan masyarakat dalam melakukan perecanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak.



H.    Perbedaan Pendidikan Inklusif , Pendidikan Terpadu Dan Pendidikan Pada Umunya

Pendidikan pada umumnya adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengem¬bangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pada umumnya peserta didik dalam pendidikan umum/pendidikan reguler adalah peserta didik normal, sehingga kurikulum, tenaga guru, sarana dan prasarana, lingkungan belajar dan proses pembelajarannya dirancang untuk anak normal. Hal ini karena asumsi yang melandasi adalah bahwa peserta didik memiliki kemampuan yang homogin.
Sebaliknya pada pendidikan inklusif peserta didiknya adalah peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang ada di sekolah reguler. Sehingga kurikulum, tenaga guru, sarana dan prasarana, lingkungan belajar dan proses pembelajarannya harus dirancang sedemikian rupa untuk memungkinkan semua peserta didik dapat mengembangkan potensinya.
Pendidikan terpadu merupakan pendidikan yang memberi kesempat¬an kepada peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler. Perbedaan yang menonjol antara pendidikan terpadu dengan pendidikan inklusif terletak pada sistem pendidikan yang ada di sekolah tersebut. Sekolah terpadu, peserta didiknya mengikuti sistem yang ada di sekolah reguler. Sedangkan pendidikan inklusif, sistem pendidikan yang digunakan menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didiknya.
I.         Kenapa Pendidikan Inklusi Harus Dipromosikan Dan Ditetapkan:
            beberapa alasan mengapa pendidikan inklusif perlu dipromosikan antara lain sebagai berikut:
1.      Semua anak mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bernutu dan tidak didiskriminasikan
2.      semua anak mempunyai kemampuan untuk mengituki pelajaran tanpa melihat kelainan dan kecepatan
3.      perbedaan merupakan penguat dalam meningkatkan mutu
4.      pembelajaran bagi semua anak sekolah dan guru mempunyai kemampuan untuk belajar merepon dari kebutuhan pembelajaran yg berbeda.
            Pendekaan berbasis program rehabilitasi berbasis masyarakat dalam melakukan promosi telah tersebar di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang, sejak awal tahun 1980-an. Pada awalnya fokus utamanya adalah pada berbagai terapi rehabilitasi dan respon medis. Tetapi kemudian konsep RBM semakin diartikan sebagai upaya untuk mempromosikan hak-hak asasi dan meningkatkan kesamaan kesempatan dan inklusi penuh bagi para penyandang cacat. Oleh karena itu, dukungan bagi anak-anak penyandang cacat agar mendapatkan akses ke pendidikan menjadi komponen yang alami dari RBM.
v  Keuntungan memPromosikan pendidikan inklusif dari Sudut Pandang RBM adalah:
-          Adanya hubungan yang erat antara keluarga, masyarakat dan sekolah;
-          Anak secara penuh didukung dengan alat bantu dan terapi yang tepat untuk meningkatkan keberfungsiannya;
-          Adanya dukungan yang berkesinambungan dari pekerja RBM.
v  Kelemahan mempromosikan pendidikan inklusif hanya dari sudut pandang RBM meliputi:
-          Fokus terletak pada individu anak, bukan pada sistem – skala dampaknya terbatas.
-          Sering tergantung pada niat baik dari satu atau dua orang guru; jika gurunya diganti/pindah, inklusi terhenti.
-          Anak penyandang kecacatan yang berat dianggap “tidak siap” untuk inklusi – lagi-lagi, anak yang disesuaikan dengan sistem, bukan sebaliknya.
-          Guru belum tentu belajar cara mengembangkan metodologi yang berfokus pada anak.
-          RBM mempromosikan pengintegrasian individu anak tetapi tidak mengembangkan sistem inklusi penuh.  






























DAFTAR PUSTAKA

Hery Widyastono.(2004).Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkelainan.Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan.Jurnal Pendidikan Dan Kebudayaan No 046 Tahun Ke-10, Januari 2004

Nasichin.(2001).Kebijakan Direktorat Pendidikan Luar Biasa.Jurnal Rehabilitasi Dan Remedial. Jurnal Rehabilitasi Dan Remedial Tahun 11, No 2, Desember 2001

Sunardi.2002. Makalah Program Pengajaran Individual. Surakarta

                 (2012).Pengembangan Perangkat Kurikulum, Pembelajaran Dan Evaluasi Dalam Pendidikan Inklusi. Surakarta




Tidak ada komentar: