Cahaya rembulan
menerangi segenap penjuru kota ini. Bintang pun ikut menerangi kota kecil ini,
Kota Bentang. Bangunan nan tinggi yang berjejeran menjadikannya elok dipandang.
Semua mata tak jemu menatapnya. Jalan raya pun menjadi ramai oleh suara motor
dan mobil. Sesekali suara tawa kecil dari orang yang lewat di depan rumahku
turut mewarnai keramaian kota ini. Aku masih duduk termenung pada kursi plastik
warna biru langit itu. Entah apa yang terpikirkan olehku malam ini. Sesekali
kualihkan pandanganku ke jalan raya menyaksikan kendaraan yang berlalu-lalang.
Lagi-lagi aku larut dalam lamunan yang terus menari di atas angin.
Piiiiiiiiip…piiiip…. Tiba-tiba
aku tersadar dari indahnya lamunanku. Kuarahkan pandanganku ke sumber suara itu.
Kutangkap bayangan itu, tak ada yang berubah. Empat tahun lebih rasanya seperti
kemarin. Sosoknya memang tak pernah berubah di mataku. Rasa itu pun masih tetap
sama. Kukembangkan senyum tipis menyambut sosok yang mendekat ke arahku. Kusapa
dan kupersilahkan masuk. Kujabat tangannya. Tapi tangannya bak es, dingin. Sejenak
kumelihat wajahnya yang anggun itu, mataku tak sanggup menatapanya lebih lama.
Sehelai senyum yang ia lontarkan kepadaku. Namun, kali ini berbeda dari empat
tahun silam. Menguak sejuta tanya dalam batinku. Ada apa gerangan? Kenapa
senyum itu berbeda? Sejenak suasana menjadi hening.
“Hem…
eh… bagaimana kabarmu?” Tanyaku seraya memecahkan keheningan itu.
“E…
eh.. baik.” Jawabnya kaget.
Aku
kembali menghidupkan suasana. “Sekarang kamu kerja di mana?”
“Di
BKD jawabnya. Kamu ada acara malam ini?” Tanyanya.
“Tidak
ada” jawabku.
“Bisa
kamu temani aku ke Plaza?”
“bisa”.
Jawabku.
Jarum
jam menunjuk angka 07. 30. Kami pun meninggalkan rumah menuju Plaza Marina.
Kami
menuju meja paling belakang, tepatnya meja nomor 16. Seorang anak mendekati
kami lalu bertanya, “Pesan apa?” jus alpukat dua dan roti panggang. Jawabnya
dengan suara sedikit bergetar. Setangkai harapan kembali hadir dalam batinku.
Aku senang. Senang sekali karena dia masih ingat minuman kesukaanku.
Pertemuan
pertama setelah berpisah selama empat tahun adalah suasana yang paling indah
bagi insan yang sedang memadu kasih. Namun, itu jauh dari harapan. Entah kenapa
dan bagaimana. Kupecahkan keheningan itu dengan sebuah tanya.
“Sand!
kamu masih ingat nggak malam waktu aku nembak kamu di sini? Nomor mejanya,
suasana di sekeliling kita sama seperti dulu. Betul-betul ya empat tahun enam
bulan telah berlalu tapi malam ini rasanya seperti kemarin. Malam itu bulan
bersama semua bintang di langit menjadi saksi bisu atas hubungan kita.”
Tak
sepatah kata pun terucap dari bibirnya yang tipis itu. Seolah ia tak mendengar
perkataanku tadi. Dia hanya diam dan menundukkan kepala.
“Sand…
Sand… Sandra! Kamu kenapa say?” Tanyaku. Aku mendekatinya sambil bertanya lagi,
“kamu sakit?” Dia hanya menggelengkan kepala dan masih menundukkan tatapannya.
Kucoba menghelai rambut panjangnya yang terurai dan dia mengangkat tatapannya,
di sana kutemukan butiran-butiran kristal yang berguguran. Ya betul butiran air
lembut membasahi pipinya.
“Say,
kamu kenapa, kok nangis?”
“Ti…
tidak.” Jawabnya dengan suara pelan dan berat.
“Kamu
sakit?” Tanyaku lanjut.
“Tidak
kok, aku baik-baik saja.” Sejuta tanya kembali melilit di pikiranku.
“Tabe’… ini jusnya,” kata pelayan itu.
“Iya
makasih ya dek!” Jawab Sandra.
Kami
lanjut ngobrol dari A-Z tentang teman-teman di kampus, malam pertama jadian,
dan lain sebagainya membuat kami tertawa. Itulah masa lalu, masa masih duduk di
bangku kuliah. Asyiknya mengingat masa lalu, disela tawa kecil kami. Ia
bertanya,
“Kamu pasti punya pacar kan selama di Bandung?
Atau jangan-jangan sudah sudah punya istri?”
“Kamu
itu sama saja seperti dulu, sering nanya yang seperti itu. Tidak ada,” jawabku.
“Kamu
jujur saja, saya tidak akan marah kok say!” pintanya.
“Tidak
ada, serius. Sejak aku kenal kamu sampai malam ini, hanya ada satu nama di
hatiku yaitu SANDRA. Sand…! Di tempat inilah kita diikat oleh sebuah janji
kesetiaan selamanya dan di tempat ini pula aku akan akan mengatakan sesuatu ke
kamu, malam ini. Kamu tidak keberatan kan?”
Dia
hanya tersenyum sambil menundukkan pandangannya sejenak lalu bangkit dan
bertanya.
“Apa
itu?” Sambil tersenyum. Senyumnya yang manis dan tatapannya membuatku tak
berdaya untuk untuk mengatakannya. Tapi, ini harus dia ketahui. Hati ini tak
sabar rasanya untuk mengatakannya tapi mulutku seolah terkunci dengan
keanggunan rupanya yang berhiaskan senyuman. Batinku mulai berperang antara
“katakanan sekarang” dan” jangan”. Aku kembali diam tak berdaya sambil
menyaksikan perdebatan dalam batinku.
“Kamu
mau bilang apa?” Tanyanya. O, aku terkejut dan sedikit grogi tapi tetap
berusaha untuk menguasai diri. Begini, hari Kamis nanti orang tuaku mau datang
ke rumahmu. Dia langsung memotong pembicaraanku dengan bertanya,
“Untuk
apa?” Nampaknya dia agak kaget.
“Ya
untuk apalagi kalau bukan untuk kelanjutan hubungan kita. Untuk melamar kamu,
makanya aku ajak ketemu kamu malam ini juga,” paparku lanjut. Wajah nan anggung
yang memesona itu tiba-tiba berubah menjadi merah, bibir nan seksi itupun
gemetaran bak orang yang kedinginan. Perlahan, butiran kristal pun berguguran.
Aku
bertanya, “Kok kamu nangis?” Awalnya aku pikir ia hanya terharu setelah
melewati penantian yang panjang, akhirnya akan berbuah manis juga. Tapi,
setelah butiran air lembut semakin membanjiri pipinya aku mulai heran.
“Kamu
kenapa say?” Tak ada sepatah katapun terucap dari bibir tipis yang seksi itu.
Aku pun terdiam sejenak lalu berkata lagi “apa yang terjadi denganmu?” Semua
pertanyaan itu tak satu pun dijawab.
Aku
mendekatinya lalu berbisik, “aku serius aku mencintai kamu,” sambil mengusap
rambutnya dan sesekali menghapus air matanya dengan tissu.
Mendengar
itu, sepertinya tangisan itu tak sanggup lagi di bendung olehnya.
“Terima
kasih untuk semuanya say… aku mau pulang saja sekarang, ntar di rumah aku sms
kamu ya!”
“Kok begini
sih? Iya tapi aku antar kamu pulang ya?” Jawabku.
“Tidak
usah, aku bisa pulang sendiri.”
“Tidak
apa-apa aku antar saja.”
“Janganmi,
tidak apa-apaja,” jawabnya.
“Ya
hati-hati di jalan!”
Ia
sedikit memutar badan lalu menempelkan bibirnya di pipi kananku. Aku sontak
kaget karena selama saya mengenal dirinya tidak pernah sekali pun ia melakukan
hal itu.
“Aku
pergi dulu, jangan lupa baca sms ku sebentar ya!”
“I…
iya, makasih say!”
Lima
menit setelah ia pergi, aku pun segera beranjak dari tempat itu menuju ke
rumah. Sesampai di rumah, langsung kurebahkan diriku di atas ranjang dengan
terlilit sejuta pertanyaan tentang kejadian tadi di Marina Plaza. Tetap
terbaring di atas ranjang hingga jarum jam menunjuk angka 12.16. Tiba-tiba
terdengar dari dekat bantalku suara ting…ting…ting…. Dengan tidak sabar aku
langsung membuka inboks di HP ku. Begitu aku membukanya, nama yang muncul adalah
“UMMI” kubaca dengan pelan rangkaian kata dalam pesan itu:
“Maaf kalau kehadiran sms ini membuat kamu
terganggu! Langsung ke intinya aja ya! Saya sangat berterima kasih atas niat
baikmu sekeluarga karena akan mewujudkan janji yang pernah kau ucapkan kepadaku
beberapa tahun yang lalu. Aku bangga karna sampai detik ini kamu masih setia
terhadapku. Tapi, dengan berat hati dan penuh rasa bersalah saya mohon maaf
yang sedalam-dalamnya karena baru kemarin saya menerima lamaran dari seseorang.
Kejadian yang tadi itu adalah awal dan akhir dari segalanya, maafkan aku!
Akhir-akhir ini saya meragukan kesetiaanmu tapi ternyata kau membuktikannya.
Mungkin kamu bukan yang terbaik bagiku, begitupun sebaliknya. Semoga kamu
menemukan yang terbaik untuk mendamping hidup di masa tua hingga menghembuskan
nafas terakhirmu. Terima kasih atas cinta suci yang kau berikan. Kau laki-laki
yang terbaik yang kutemukan selama ini, bahkan kau melebihi tunanganku. Sekali
lagi maaf untuk semuanya, dan sampaikan juga permohonan maafku kepada ayah dan
bunda. Wassalam”.
***
Makassar,
24 November 2013
Oleh: Muhammad Nur