FILSAFAT ILMU DAN PENDIDIKAN

A.    FILSAFAT PENDIDIKAN MENURUT KI HAJAR DEWANTARA
1.      Biografi Ki Hajar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara (Yogyakarta, 2 Mei 188926 April 1959) adalah seorang pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Lahir dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat, beliau mendirikan perguruan Taman Siswa yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Beliau wafat pada 26 April 1959 dan dimakamkan di Wijayabrata, Yogyakarta. Tanggal lahirnya, 2 Mei, kemudian dijadikan Hari Pendidikan Nasional di Indonesia. Beliau dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia dan wajahnya bisa dilihat pada uang kertas pecahan Rp20.000. Nama beliau diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Selain itu, sampai saat ini perguruan Taman Siswa yang beliau dirikan masih ada dan telah memiliki sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Banyak karya beliau yang menjadi landasan rakyat Indonesia dalam mengembangkan pendidikan, khususnya kalimat filosofis (selain dari konsep 3 dinding diatas) seperti ING NGARSO SUNTOLODO, ING MADYO MANGUN KARSO, TUT WURI HANDAYANI (Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan). Semboyannya yang paling terkenal yaitu “tut wuri handayani” yang selalu tertempel di topi, dasi, dan tidak jarang juga di dada setiap siswa siswi Indonesia dari SD sampai SMU.
Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa pada tahun 1922 di Yogyakarta. Sebuah lembaga yang pertama kali menjadi motivator bagi warga negara Indonesia demi melanjutkan kemerdekaan yang akan menjadi proses kemerdekaan kita saat ini. Sejak awal Taman Siswa memiliki semboyan yang tertera diatas. Semboyan yang sering dipertanyakan oleh berbagai peserta didik saat ini. Apa yang terkandung dalam semboyan yang menjadi dasar filosofi pendidikan yang dibuat oleh Ki Hajar Dewantara.

2.      Pemikiran Ki Hajar Dewantara
Berbagai macam cara yang dilakukan Ki Hajar dewantara demi memperjuangkan kemerdekaan pendidikan Indonesia. Salah satunya dengan seringnya mengubah namanya sediri. Hal tersebut dimasudkan untuk menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak- anak. Adapun tujuannya adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Dengan berbagai ide yang dimiliki dari Ki Hajar Dewantara ada satu konsep yang terlupakan. Ki Hajar pernah melontarkan konsep belajar 3 dinding. Kalau kita mengingat masa lalu ketika masih di bangku sekolah, bentuk ruang kelas kita rata-rata adalah persegi empat. Nah, Ki Hajar menyarankan ruang kelas itu hanya dibangun 3 sisi dinding saja. Ada satu sisi yang terbuka. Konsep ini bukan main-main filosofinya. Dengan ada satu dinding yang terbuka, maka seolah hendak menegaskan tidak ada batas atau jarak antara di dalam kelas dengan realita di luar.
1.      Tujuan pendidikan
Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia atau menjadikan manusia/peserta didik kian beradab dan memiliki keadaban (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
Selain itu pendidikan juga merupakan sarana untuk memperbaharui diri. Tanpa pendidikan, kita akan terperangkap hidup pada masa lalu. Itu sebabnya pakar kepemimpinan Manfred Kets De Vries mencatat, salah satu penghalang bagi manusia untuk memperbaharui diri adalah karena selalu merupakan produksi masa lalu. Jika hingga saat ini pendidikan hanya dimengerti sebagai pengajaran sebagaimana telah terjadi selama ini, maka kita juga tidak akan pernah berubah. Akibatnya kita akan selalu menjadi produk masa lalu yang tidak beruntung.
2.      Hakekat pendidikan
Ki Hadjar Dewantara membedakan antara  sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan”.  Menurutnya pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Manusia merdeka itu adalah manusia yang hidupnya secara lahir dan batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi ia mampu bersandar dan berdiri di atas kakinya sendiri. Artinya  sistem pendidikan itu mampu menjadikan setiap individu hidup mandiri dan berani berpikir sendiri  atau memakai istilah Kant, sapere aude. Dalam arti luas maksud pendidikan dan pengajaran adalah bagaimana memerdekakan manusia sebagai anggota dari sebuah persatuan (rakyat). Kemerdekaan yang dimaksud adalah kemerdekaan yang bersifat dewasa dan menjunjung tinggi nilai-nilai hidup bersama. Oleh karena itu, setiap orang merdeka harus memperhatikan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana ia hidup. Dalam hal ini harus menyadari bahwa setiap individu juga memiliki hak yang sama seperti dirinya yang juga berhak menuntut kemerdekaanya.
Dapat disimpulkan bahwa menurut KHD pendidikan yang sesungguhnya adalah menyangkut jiwa dan raga setiap individu untuk semakin dewasa dan mandiri. Pendidikan di sini termasuk lahir dan batin. Serta pendidikan harus melibatkan pertimbangan kemanusiaan dan selaras dengan nilai-nilai hakiki yang ada dalam diri setiap peserta didik.
3.      Metode Pendidikan
Dalam pemikiran kihajar dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala, hati dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the hand).
Among mempunyai pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang. Pelaksana “among” (momong) disebut Pamong, yang mempunyai kepandaian dan pengalaman lebih dari yang diamong. Guru atau dosen di Tamansiswa disebut pamong yang bertugas mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu. Tujuan sistem among membangun anak didik menjadi manusia beriman dan bertakwa, merdeka lahir batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani rohani agar menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya.
Sistem among mengharamkan hukuman disiplin dengan paksaan/kekerasan karena itu akan menghilangkan jiwa merdeka anak. Sistem Among dilaksanakan secara “tut wuri handayani” dimana kita dapat “menemukenali” anak, bila perlu perilaku anak boleh dikoreksi (handayani) namun tetap dilaksanakan dengan kasih sayang. Pendidikan yang beralaskan paksaan-hukuman-ketertiban kita anggap memperkosa hidup kebatinan sang anak. Yang kita pakai sebagai alat pendidikan yaitu pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. Itulah yang kita namakan Among Methode.”
4.      Kurikulum Pendidikan
Mengenai kurikulum Ki Hajar belum memberikan definisi kurikulum secara konkrit. Namun secara substansial sudah tersirat, sebagaimana yang dikutip Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A dari buku Ki Hajar Dewantara yang berjudul Bagian Pertama Pendidikan, menyatakan pembagian pelajaran kepada dua bagian pertama, pelajaran yang selain memberikan pengetahuan (kepandaian) yang berpengaruh pada kemajuan batin. Dalam artian mematangkan pikiran, rasa, dan kemauan. Yang kedua, adalah pelajaran yang yang memberi bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum; yaitu pelajaran yang meliputi lapangan kultural dan kemasyarakatan.
Hal yang lainnya adalah bahwa Ki Hajar Dewantara amat mementingkan pendidkan kanak-kanak, (sebagaiman yang di cantumkan dalam asas taman siswa pasal 6) kesenian, kekeluargaan, keIndonesiaan, kejiwaan, kesopanan, dan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing.
Dapat disimpulkan bahwa pandangan Ki Hajar Dewantara mengenai Kurikulum pendidikan lebih banyak mengarah kepada pembentukan kemampuan anak didik agar mandiri, merdeka namun dapat mencerna pendidikan barat yang lebih bersifat intelektualitas dan materalisme.
3.      Pokok Pikiran Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara
Konsep Ki Hajar Dewantara termasuk aliran filsafat pendidikan yang menganut definisi pendidikan, apabila dilihat dari sudut aliran filsafat pendidikan evolusionistis yang lebih menekankan tangga-tangga psikologis perkembangan manusia. Suatu konsep pendidikan yang lebih mengarahkan orientasinya pada aspek-aspek kehidupan modern yang kompleks dan rumit kaitannya, yang lebih individualisis sehinga menuntut kemampuan individual masing-masing pribadi dalam mengadakan penyesuaian kehidupan psikologsnya. Konsep tentang anthropologi filsafat kalau tidak dirumuskan dalam definisi pendidikan dapat dicari pada rumusan tentang tujuan pendidikannya. Sebagai contoh dalam sejarah pemikiran filsafat pendidikan Indonesia, kita dikenalkan dengan salah satu rumusan tujuan pendidikan sebagai berikut Membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab atas kesejahteraan Negara dan tanah air.
Dalam rumusan ini hakekat manusia sebagai suatu aspek yang bernilai martabat yang sama, sehinga yang satu tidak boleh mencaplok atau menghisap yang lain, artinya manusia dihisap warga negara sehingga mengarah ke terhisapnya kepentingan individu demi kepentingan dan kejayaan Negara, dan sebaliknya hilangnya aspek warganegara dan mengarah ke individualisme yang otomistis. Suatu ilustrasi tujuan pendidikan yang mengarah ke penghisapan individualitas manusia ke dalam konsep warganegara adalah definisi pendidikan di bawah ini Pendidikan adalah kegiatan atau proses dengan mana individual dibina agar loyal setia tanpa sarat dan penyesuaian membuka pada kelompok atau individu.

B.     PARADIGMA ONTOLOGI PENDIDIKAN
1.      Pengertian ontologi
      Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti ThalesPlato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan.
      Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
      Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:
§  kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
§  Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
      Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realismenaturalismeempirisme
      Istilah istilah terpenting yang terkait dengan ontologi adalah:
§  yang-ada (being)
§  kenyataan/realitas (reality)
§  eksistensi (existence)
§  esensi (essence)
§  substansi (substance)
§  perubahan (change)
§  tunggal (one)
§  jamak (many)
Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologisosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budayafisika, ilmu teknik dan sebagainya).
Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
2.      Objek formal ontologi
      Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
3.      Metode dalam ontologi
      Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas.
      Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
      Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh :
      Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
      Badan itu sesuatu yang lahiri (S-Tt)
      Jadi, badan itu fana’ (S-P)
                Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh :
            Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)
            Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P)
            Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)
                Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.
4.      Sebuah Paradigma Ontologi Pendidikan
      Secara ontologism, dikatakan bahwa tanpa manusia pendidikan itu bukan apa-apa (nothing), sebaliknya tanpa pendidikan mustahil manusia mampu mempertahankan kelangsungan dan mengembangkan hidupnya.
Secara ontologis manusia berada dalam tiga tingkatan hakikat yaitu;
§  Essensi abstark pendidikan. Artinya pendidikan itu bersifat universal yaitu mutlak ada dan berlaku untuk setiap manusia siapapun, kapanpun dan dimanapun.
§  Essensi potensial pendidikan. Dalam hal ini manusia menjadi dirinya sendiri dimana ia menumbuh kembangkan keceerdasan intelegensi sehingga terbentuk kepribadian yang kreatif. Dimana ia dapat yekun, teliti dan terampil dalam menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari.
§  Essensial konkret pendidikan. Pada tingkatan ini pendidikan adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran akan hakekatnya berdasarkan asal mula dan tujuan hidup manusia.

C.    KEBENARAN DALAM PENDIDIKAN
      Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
      Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
      Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?
      Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.
1.      Pengukuran  definisi kebenaran
      Apakah kebenaran itu? Inilah yang lebih lanjut harus dihadapi di dalam filsafat ilmu. Hal kebenaran sesungguhnya merupakan tema sentral di dalam filsafat ilmu. Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran. Rasanya lebih tepat kalu pertanyaan kemudian dirumuskan menjadi apakah pengetahuan yang benar itu
      Problematika mengenai kebenaran, seperti halnya problematic tentang pengetahuan, merupakan masalah-masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadarminta ditemukan arti kebenaran yakni:
a.       Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya); misal, kebenaran beita ini masih saya sangsikan; kita harus berani membelan kebenaran dan keadilan.
b.      Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya); misal, kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama.
c.       Kejujuran; kelurusan hati; misal tidak ada seorang pun yang sangsi akan kebaikan dan kebenaran hatimu.
d.      Selalu izin; perkenaan; misal, dengan kebenaran yang dipertuan.
e.       Jalan kebetulan; misal, penjahat itu dapat dibekuk dengan cara kebenaran saja.
      Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan kesadarannya tak mungkin tanpa kebenaran.
      Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
a.       Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhana dan pertama yang dialami manusia.
b.      Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indera, diolah pula dengan rasio.
c.       Tingkat filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya.
d.      Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.
      Keempat tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenaran itu. Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indra.
      Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebenaran itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.
      Ukuran Kebenarannya :
§  Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran.
§  Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain.
§  Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran.


2.      Jenis-jenis Kebenaran.
      Telaah dalam filsafat ilmu, membawa orang kepada kebenaran dibagi dalam tiga jenis. Menurut A.M.W. Pranarka (1987) tiga jenis Kebenaran itu adalah:
a.       Kebenaran epstimologikal.
b.      Kebenaran ontological.
c.       Kebenaran semantikal.
      Kebenaran epstimogikal adalah pengertian kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia. Kadang disebut dengan istilah veritas cognition ataupunveritas logica. 
      Kebenaran dalam arti ontological adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Apabila dihubungkan dengan kebenaran epstimologikal kadang-kadang disebut juga kebenaran sebagai sifat dasar yang ada di dalam objek pengetahuan itu sendiri.
      Adapun kebenaran dalam arti semantikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa. Kebenaran semantikal disebut juga kebenaran moral (veritas moralis) karena apakah tutur kata dan bahasa itu mengkhianati atau tidak terhadap kebenaran epstimologikal atau pun kebenaran ontological tergantung kepada manusianya yang mempunyai kemerdekaan untuk menggunakan tutur kata atau pun bahasa itu. Apabila kebenaran epstimologikal terletak di dalam adanya kemanunggalan yang sesuai serasi terpadu antara apa yang dinyatakan oleh proses cognitive intelektual manusia dengan apa yang sesungguhnya ada di dalam objek (yang disebutesse reale rei), apakah itu konkret atau abstrak, maka implikasinya bahwa di dalamesse reale rei tersebut memang terkandung suatu sifat intelligibilitas (dapat diketahui kebenarannya). Hal adanya intelligibilitas sebagai kodrat yang melekat di dalam objek, di dalam benda, barang, makhluk dan sebagainya sebagai objek potensial maupun riil dari pengetahuan cognitif intelektual manusia itulah yang disebut kebenaran ontological, ialah sifat benar yang melekat di dalam objek. 


3.      Teori-Teori Kebenaran.
a.      Teori Corespondence
      Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita obyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.
      Teori korespodensi (corespondence theory of truth) menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.
      Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselarasan dengan realitas yang serasi dengan situasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
§  Statement (pernyataan)
§  Persesuaian (agreemant)
§  Situasi (situation)
§  Kenyataan (realitas)
§  Putusan (judgements)
      Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristoteles dan moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Bernard Russel pada abad moderen.
      Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menurut corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.
      Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standar atau asas normatif bagi tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku, harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
      Misalnya pengetahuan `air akan menguap jika dipanasi sampai dengan 100 derajat`. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau kemudian dicoba memanasi air dan diukur sampai seratus derajat, apakah air menguap! Jika terbukti tidak menguap maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah, dan jika terbukti air menguap, maka pengetahuan tersebut dinyatakan benar.
b.      Teori Consistency
      Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
      Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain. Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang.
      Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dan kelanjutan yang teliti dari teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.
      Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya. Rumusan kebenaran adalah truth is a sistematis coherence dan truth is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C
      Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
      Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggap benar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yang benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya. Sebagai contoh, kita mempunyai pengetahuan bahwa runtuhnya kerajaan Majapahit adalah tahun 1478. Dalam hal ini kita tidak dapat membuktikan secara langsung dari isi pengetahuan itu, melainkan hanya dapat membuktikan melalui hubungan dengan proposi yang terdahulu, baik dalam buku-buku sejarah atau peniggalan sejarah yang mengungkapkan kejadian itu.
c.       Teori Pragmatisme
      Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode project atau metode problem solving di dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar, hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengembalikan pribadi manusia di dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan. Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah.
      Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran). Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memiliki kebenaran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.
      Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workobility) dan akibat yang memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya.
      Akibat / hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
§  Sesuai dengan keinginan dan tujuan
§  Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen
§  Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)
      Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsuf Amerika, tokohnya adalah Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey (1852-1859).
      Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsekuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsekuensi tidaklah terletak di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi) atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuatu melalui praktek di dalam program problem solving. Misal pengetahuan naik bis, lalu akan turun dan bilang kepada kondektur `kiri`, kemudian bis berhenti diposisi kiri. Dengan berhenti di posisi kiri, penumpang bias turun dengan selamat. Jadi mengukur kebenaran bukan dilihat bukan karena bis berhenti di posisi kiri, namun penumpang bias turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.
d.      Kebenaran Religius
      Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.
      Kebenaran tak cukup hanya diukur dengan rasio dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal, berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara ontologis dan axiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
      Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat super rasional dan super individual. Bahkan bagi kaum religius kebenaran illahi ini adalah kebenaran tertinggi, dimana semua kebenaran (kebenaran indera, kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebenaran ini :
      Agama sebagai teori kebenaran, Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi, fakta, realitas dan kegunaan sebagai landasannya. Dalam teori kebenaran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sebagai makluk pencari kebenaran, manusia mencari dan menemukan kebenaran melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Agama dengan kitab suci dan haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk kebenaran.
e.       Teori kebenaran berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
      Proposi itu ditinjau dari segi artinya atau maknanya. Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai referen yang jelas. Oleh sebab itu, teori ini mempunyai tugas untuk menguakkan kesahan dari proposisi dalam referensinya. Teori kebenaran semantik dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russel sebagai tokoh pemula dari filsafat Analitika Bahasa. Misalnya filsafat secara etimologi berasal dari bahasa Yunani philosophia yang berarti cinta akan kebijaksanaan. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau ada referensi yang jelas. Jika tidak mempunyai referensi yang jelas maka pengetahuan tersebut salah.
f.        Teori kebenaran sintaksis
      Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar apabila pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang di antara filsuf analisis bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika. Misalnya suatu kalimat standar harus ada subjek dan predikat. Jika kalimat tidak ada subjek maka kalimat itu dinyatakan tidak baku atau bukan kalimat. Seperti `semua korupsi` ini bukan kalimat standar karena tidak ada subjeknya.
g.      Teori kebenaran nondeskripsi
      Teori kebenaran non deskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Karena pada dasarnya suatu statement atau pernyataan akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung pada peran dan fungsi dari pernyataan itu. Jadi, pengetahuan akan memiliki niali benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari- hari.
h.      Teori kebenaran logic yang berlebihan (Logical superfluity of truth)
      Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori ini, problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini mengakibatkan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki drajat logis yang masing-masing saling melingkupinya.

4.      Analisis kebenaran dalam pendidikan
      Secara epistemologis, kebenaran pendidikan menunjuk hasil dari seluruh rangkaian kegiatan pendidikan. Jika bentuk dan materi pendidikan terpadu maka pendidikan itu benar adanya.
      Pendidikan sekolah menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara keilmuan untuk mencapai kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah adalah landasan terbentuknya watak da sikap ilmiah. Masyarakat terbuka bersifat monopluralistik, dimana potensi individual menyublin dalam wujud dan bentuk kesatuan menyeluruh yang dinamis, merdeka dan otonom.
      Salah satu ciri masyarakat terdidik adalah cenderung produktif dalam perekonomian, ketertiban sosial menurut peraturan hukum, bidang kesehatan dalam hal ini pelayanan publik dan bidang penyelenggaraan pendidikan.
Dalam kehidupan masyarakat terdidik, kegiatan politik diselenggarakan secara benar menurut estimologi pendidikan dan penyelenggaraan kegiatan pendidikan menganut sistem terbuka.
      Melalui pemahan tentang objek pendidikan, maka wawasan pendidikan dan kehidupan menjadi semakin terbuka lebar. Jika wawasan pendidikan bersenyawa dengan nilai kebenaran pendidikan akan tertanam kuat dan akan membentuk sikap keterdidikan yang diharapkan.

D.    SASARAN ETIKA PENDIDIKAN
1.      Etika Hakikat Nilai Kebaikan
      Ada tiga jenis nilai yang dipersoalkan yaitu nilai keindahan, nilai kebenaran dan kebaikan. Nilai keindahan dalam cabang filsafat estetika, nilai kebaikan dalam filsafat epistemologi dan nilai kebaikan dalam filsafat etika.
            Etika adalah suatu studi filosofis mengenai moral. Berdasarkan pada sistematika filsafat, nilai keindahan, kebenaran dan kebaikan berada saling berhubungan secara integral menurut hokum kausalitas. Yang bernilai baik seharusnya benar dan indah, yang bernilai benar seharusnya baik dan indah, dan yang bernilai indah seharusnya benar dan baik.
      Pada hakikatnya kehidupan ini indah, ketika semua pihak bekerjasama saling tolong-menolong, saling memberi dalam ikatan kebersamaan yang harmonis. Hakikat nilai kebaikan itu berada di dalam perilaku.
2.      Sasaran Etika Pendidikan
      Kecerdasan emosional adalah sebuah perilaku yang dibangun menurut dasar ontologism dan epistemologis pendidikan. Bentuk dan wujud kecerdasan emosional adalah kemampuan mengendalikan diri untuk tidak melampaui batas.
Di dalam keluarga pengembangan kecerdasan emosional sangat bergantung pada kualitas pendidikan orang tua. Selanjutnya sekolah berkepentingan membangun criteria kecerdasan emosional, dan masyarakat merupakan tempat perbaikan perilaku moral setiap individu untuk menjadi cerdas.



DAFTAR PUSTAKA








 A.    FILSAFAT PENDIDIKAN MENURUT KI HAJAR DEWANTARA
1.      Biografi Ki Hajar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara (Yogyakarta, 2 Mei 188926 April 1959) adalah seorang pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Lahir dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat, beliau mendirikan perguruan Taman Siswa yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Beliau wafat pada 26 April 1959 dan dimakamkan di Wijayabrata, Yogyakarta. Tanggal lahirnya, 2 Mei, kemudian dijadikan Hari Pendidikan Nasional di Indonesia. Beliau dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia dan wajahnya bisa dilihat pada uang kertas pecahan Rp20.000. Nama beliau diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Selain itu, sampai saat ini perguruan Taman Siswa yang beliau dirikan masih ada dan telah memiliki sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Banyak karya beliau yang menjadi landasan rakyat Indonesia dalam mengembangkan pendidikan, khususnya kalimat filosofis (selain dari konsep 3 dinding diatas) seperti ING NGARSO SUNTOLODO, ING MADYO MANGUN KARSO, TUT WURI HANDAYANI (Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan). Semboyannya yang paling terkenal yaitu “tut wuri handayani” yang selalu tertempel di topi, dasi, dan tidak jarang juga di dada setiap siswa siswi Indonesia dari SD sampai SMU.
Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa pada tahun 1922 di Yogyakarta. Sebuah lembaga yang pertama kali menjadi motivator bagi warga negara Indonesia demi melanjutkan kemerdekaan yang akan menjadi proses kemerdekaan kita saat ini. Sejak awal Taman Siswa memiliki semboyan yang tertera diatas. Semboyan yang sering dipertanyakan oleh berbagai peserta didik saat ini. Apa yang terkandung dalam semboyan yang menjadi dasar filosofi pendidikan yang dibuat oleh Ki Hajar Dewantara.

2.      Pemikiran Ki Hajar Dewantara
Berbagai macam cara yang dilakukan Ki Hajar dewantara demi memperjuangkan kemerdekaan pendidikan Indonesia. Salah satunya dengan seringnya mengubah namanya sediri. Hal tersebut dimasudkan untuk menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak- anak. Adapun tujuannya adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Dengan berbagai ide yang dimiliki dari Ki Hajar Dewantara ada satu konsep yang terlupakan. Ki Hajar pernah melontarkan konsep belajar 3 dinding. Kalau kita mengingat masa lalu ketika masih di bangku sekolah, bentuk ruang kelas kita rata-rata adalah persegi empat. Nah, Ki Hajar menyarankan ruang kelas itu hanya dibangun 3 sisi dinding saja. Ada satu sisi yang terbuka. Konsep ini bukan main-main filosofinya. Dengan ada satu dinding yang terbuka, maka seolah hendak menegaskan tidak ada batas atau jarak antara di dalam kelas dengan realita di luar.
1.      Tujuan pendidikan
Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia atau menjadikan manusia/peserta didik kian beradab dan memiliki keadaban (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
Selain itu pendidikan juga merupakan sarana untuk memperbaharui diri. Tanpa pendidikan, kita akan terperangkap hidup pada masa lalu. Itu sebabnya pakar kepemimpinan Manfred Kets De Vries mencatat, salah satu penghalang bagi manusia untuk memperbaharui diri adalah karena selalu merupakan produksi masa lalu. Jika hingga saat ini pendidikan hanya dimengerti sebagai pengajaran sebagaimana telah terjadi selama ini, maka kita juga tidak akan pernah berubah. Akibatnya kita akan selalu menjadi produk masa lalu yang tidak beruntung.
2.      Hakekat pendidikan
Ki Hadjar Dewantara membedakan antara  sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan”.  Menurutnya pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Manusia merdeka itu adalah manusia yang hidupnya secara lahir dan batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi ia mampu bersandar dan berdiri di atas kakinya sendiri. Artinya  sistem pendidikan itu mampu menjadikan setiap individu hidup mandiri dan berani berpikir sendiri  atau memakai istilah Kant, sapere aude. Dalam arti luas maksud pendidikan dan pengajaran adalah bagaimana memerdekakan manusia sebagai anggota dari sebuah persatuan (rakyat). Kemerdekaan yang dimaksud adalah kemerdekaan yang bersifat dewasa dan menjunjung tinggi nilai-nilai hidup bersama. Oleh karena itu, setiap orang merdeka harus memperhatikan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana ia hidup. Dalam hal ini harus menyadari bahwa setiap individu juga memiliki hak yang sama seperti dirinya yang juga berhak menuntut kemerdekaanya.
Dapat disimpulkan bahwa menurut KHD pendidikan yang sesungguhnya adalah menyangkut jiwa dan raga setiap individu untuk semakin dewasa dan mandiri. Pendidikan di sini termasuk lahir dan batin. Serta pendidikan harus melibatkan pertimbangan kemanusiaan dan selaras dengan nilai-nilai hakiki yang ada dalam diri setiap peserta didik.
3.      Metode Pendidikan
Dalam pemikiran kihajar dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala, hati dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the hand).
Among mempunyai pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang. Pelaksana “among” (momong) disebut Pamong, yang mempunyai kepandaian dan pengalaman lebih dari yang diamong. Guru atau dosen di Tamansiswa disebut pamong yang bertugas mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu. Tujuan sistem among membangun anak didik menjadi manusia beriman dan bertakwa, merdeka lahir batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani rohani agar menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya.
Sistem among mengharamkan hukuman disiplin dengan paksaan/kekerasan karena itu akan menghilangkan jiwa merdeka anak. Sistem Among dilaksanakan secara “tut wuri handayani” dimana kita dapat “menemukenali” anak, bila perlu perilaku anak boleh dikoreksi (handayani) namun tetap dilaksanakan dengan kasih sayang. Pendidikan yang beralaskan paksaan-hukuman-ketertiban kita anggap memperkosa hidup kebatinan sang anak. Yang kita pakai sebagai alat pendidikan yaitu pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. Itulah yang kita namakan Among Methode.”
4.      Kurikulum Pendidikan
Mengenai kurikulum Ki Hajar belum memberikan definisi kurikulum secara konkrit. Namun secara substansial sudah tersirat, sebagaimana yang dikutip Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A dari buku Ki Hajar Dewantara yang berjudul Bagian Pertama Pendidikan, menyatakan pembagian pelajaran kepada dua bagian pertama, pelajaran yang selain memberikan pengetahuan (kepandaian) yang berpengaruh pada kemajuan batin. Dalam artian mematangkan pikiran, rasa, dan kemauan. Yang kedua, adalah pelajaran yang yang memberi bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum; yaitu pelajaran yang meliputi lapangan kultural dan kemasyarakatan.
Hal yang lainnya adalah bahwa Ki Hajar Dewantara amat mementingkan pendidkan kanak-kanak, (sebagaiman yang di cantumkan dalam asas taman siswa pasal 6) kesenian, kekeluargaan, keIndonesiaan, kejiwaan, kesopanan, dan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing.
Dapat disimpulkan bahwa pandangan Ki Hajar Dewantara mengenai Kurikulum pendidikan lebih banyak mengarah kepada pembentukan kemampuan anak didik agar mandiri, merdeka namun dapat mencerna pendidikan barat yang lebih bersifat intelektualitas dan materalisme.
3.      Pokok Pikiran Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara
Konsep Ki Hajar Dewantara termasuk aliran filsafat pendidikan yang menganut definisi pendidikan, apabila dilihat dari sudut aliran filsafat pendidikan evolusionistis yang lebih menekankan tangga-tangga psikologis perkembangan manusia. Suatu konsep pendidikan yang lebih mengarahkan orientasinya pada aspek-aspek kehidupan modern yang kompleks dan rumit kaitannya, yang lebih individualisis sehinga menuntut kemampuan individual masing-masing pribadi dalam mengadakan penyesuaian kehidupan psikologsnya. Konsep tentang anthropologi filsafat kalau tidak dirumuskan dalam definisi pendidikan dapat dicari pada rumusan tentang tujuan pendidikannya. Sebagai contoh dalam sejarah pemikiran filsafat pendidikan Indonesia, kita dikenalkan dengan salah satu rumusan tujuan pendidikan sebagai berikut Membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab atas kesejahteraan Negara dan tanah air.
Dalam rumusan ini hakekat manusia sebagai suatu aspek yang bernilai martabat yang sama, sehinga yang satu tidak boleh mencaplok atau menghisap yang lain, artinya manusia dihisap warga negara sehingga mengarah ke terhisapnya kepentingan individu demi kepentingan dan kejayaan Negara, dan sebaliknya hilangnya aspek warganegara dan mengarah ke individualisme yang otomistis. Suatu ilustrasi tujuan pendidikan yang mengarah ke penghisapan individualitas manusia ke dalam konsep warganegara adalah definisi pendidikan di bawah ini Pendidikan adalah kegiatan atau proses dengan mana individual dibina agar loyal setia tanpa sarat dan penyesuaian membuka pada kelompok atau individu.

B.     PARADIGMA ONTOLOGI PENDIDIKAN
1.      Pengertian ontologi
      Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti ThalesPlato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan.
      Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
      Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:
§  kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
§  Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
      Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realismenaturalismeempirisme
      Istilah istilah terpenting yang terkait dengan ontologi adalah:
§  yang-ada (being)
§  kenyataan/realitas (reality)
§  eksistensi (existence)
§  esensi (essence)
§  substansi (substance)
§  perubahan (change)
§  tunggal (one)
§  jamak (many)
Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologisosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budayafisika, ilmu teknik dan sebagainya).
Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
2.      Objek formal ontologi
      Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
3.      Metode dalam ontologi
      Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas.
      Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
      Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh :
      Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
      Badan itu sesuatu yang lahiri (S-Tt)
      Jadi, badan itu fana’ (S-P)
                Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh :
            Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)
            Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P)
            Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)
                Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.
4.      Sebuah Paradigma Ontologi Pendidikan
      Secara ontologism, dikatakan bahwa tanpa manusia pendidikan itu bukan apa-apa (nothing), sebaliknya tanpa pendidikan mustahil manusia mampu mempertahankan kelangsungan dan mengembangkan hidupnya.
Secara ontologis manusia berada dalam tiga tingkatan hakikat yaitu;
§  Essensi abstark pendidikan. Artinya pendidikan itu bersifat universal yaitu mutlak ada dan berlaku untuk setiap manusia siapapun, kapanpun dan dimanapun.
§  Essensi potensial pendidikan. Dalam hal ini manusia menjadi dirinya sendiri dimana ia menumbuh kembangkan keceerdasan intelegensi sehingga terbentuk kepribadian yang kreatif. Dimana ia dapat yekun, teliti dan terampil dalam menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari.
§  Essensial konkret pendidikan. Pada tingkatan ini pendidikan adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran akan hakekatnya berdasarkan asal mula dan tujuan hidup manusia.

C.    KEBENARAN DALAM PENDIDIKAN
      Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
      Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
      Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?
      Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.
1.      Pengukuran  definisi kebenaran
      Apakah kebenaran itu? Inilah yang lebih lanjut harus dihadapi di dalam filsafat ilmu. Hal kebenaran sesungguhnya merupakan tema sentral di dalam filsafat ilmu. Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran. Rasanya lebih tepat kalu pertanyaan kemudian dirumuskan menjadi apakah pengetahuan yang benar itu
      Problematika mengenai kebenaran, seperti halnya problematic tentang pengetahuan, merupakan masalah-masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadarminta ditemukan arti kebenaran yakni:
a.       Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya); misal, kebenaran beita ini masih saya sangsikan; kita harus berani membelan kebenaran dan keadilan.
b.      Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya); misal, kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama.
c.       Kejujuran; kelurusan hati; misal tidak ada seorang pun yang sangsi akan kebaikan dan kebenaran hatimu.
d.      Selalu izin; perkenaan; misal, dengan kebenaran yang dipertuan.
e.       Jalan kebetulan; misal, penjahat itu dapat dibekuk dengan cara kebenaran saja.
      Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan kesadarannya tak mungkin tanpa kebenaran.
      Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
a.       Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhana dan pertama yang dialami manusia.
b.      Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indera, diolah pula dengan rasio.
c.       Tingkat filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya.
d.      Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.
      Keempat tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenaran itu. Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indra.
      Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebenaran itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.
      Ukuran Kebenarannya :
§  Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran.
§  Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain.
§  Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran.


2.      Jenis-jenis Kebenaran.
      Telaah dalam filsafat ilmu, membawa orang kepada kebenaran dibagi dalam tiga jenis. Menurut A.M.W. Pranarka (1987) tiga jenis Kebenaran itu adalah:
a.       Kebenaran epstimologikal.
b.      Kebenaran ontological.
c.       Kebenaran semantikal.
      Kebenaran epstimogikal adalah pengertian kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia. Kadang disebut dengan istilah veritas cognition ataupunveritas logica. 
      Kebenaran dalam arti ontological adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Apabila dihubungkan dengan kebenaran epstimologikal kadang-kadang disebut juga kebenaran sebagai sifat dasar yang ada di dalam objek pengetahuan itu sendiri.
      Adapun kebenaran dalam arti semantikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa. Kebenaran semantikal disebut juga kebenaran moral (veritas moralis) karena apakah tutur kata dan bahasa itu mengkhianati atau tidak terhadap kebenaran epstimologikal atau pun kebenaran ontological tergantung kepada manusianya yang mempunyai kemerdekaan untuk menggunakan tutur kata atau pun bahasa itu. Apabila kebenaran epstimologikal terletak di dalam adanya kemanunggalan yang sesuai serasi terpadu antara apa yang dinyatakan oleh proses cognitive intelektual manusia dengan apa yang sesungguhnya ada di dalam objek (yang disebutesse reale rei), apakah itu konkret atau abstrak, maka implikasinya bahwa di dalamesse reale rei tersebut memang terkandung suatu sifat intelligibilitas (dapat diketahui kebenarannya). Hal adanya intelligibilitas sebagai kodrat yang melekat di dalam objek, di dalam benda, barang, makhluk dan sebagainya sebagai objek potensial maupun riil dari pengetahuan cognitif intelektual manusia itulah yang disebut kebenaran ontological, ialah sifat benar yang melekat di dalam objek. 


3.      Teori-Teori Kebenaran.
a.      Teori Corespondence
      Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita obyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.
      Teori korespodensi (corespondence theory of truth) menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.
      Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselarasan dengan realitas yang serasi dengan situasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
§  Statement (pernyataan)
§  Persesuaian (agreemant)
§  Situasi (situation)
§  Kenyataan (realitas)
§  Putusan (judgements)
      Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristoteles dan moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Bernard Russel pada abad moderen.
      Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menurut corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.
      Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standar atau asas normatif bagi tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku, harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
      Misalnya pengetahuan `air akan menguap jika dipanasi sampai dengan 100 derajat`. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau kemudian dicoba memanasi air dan diukur sampai seratus derajat, apakah air menguap! Jika terbukti tidak menguap maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah, dan jika terbukti air menguap, maka pengetahuan tersebut dinyatakan benar.
b.      Teori Consistency
      Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
      Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain. Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang.
      Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dan kelanjutan yang teliti dari teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.
      Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya. Rumusan kebenaran adalah truth is a sistematis coherence dan truth is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C
      Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
      Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggap benar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yang benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya. Sebagai contoh, kita mempunyai pengetahuan bahwa runtuhnya kerajaan Majapahit adalah tahun 1478. Dalam hal ini kita tidak dapat membuktikan secara langsung dari isi pengetahuan itu, melainkan hanya dapat membuktikan melalui hubungan dengan proposi yang terdahulu, baik dalam buku-buku sejarah atau peniggalan sejarah yang mengungkapkan kejadian itu.
c.       Teori Pragmatisme
      Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode project atau metode problem solving di dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar, hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengembalikan pribadi manusia di dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan. Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah.
      Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran). Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memiliki kebenaran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.
      Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workobility) dan akibat yang memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya.
      Akibat / hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
§  Sesuai dengan keinginan dan tujuan
§  Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen
§  Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)
      Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsuf Amerika, tokohnya adalah Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey (1852-1859).
      Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsekuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsekuensi tidaklah terletak di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi) atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuatu melalui praktek di dalam program problem solving. Misal pengetahuan naik bis, lalu akan turun dan bilang kepada kondektur `kiri`, kemudian bis berhenti diposisi kiri. Dengan berhenti di posisi kiri, penumpang bias turun dengan selamat. Jadi mengukur kebenaran bukan dilihat bukan karena bis berhenti di posisi kiri, namun penumpang bias turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.
d.      Kebenaran Religius
      Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.
      Kebenaran tak cukup hanya diukur dengan rasio dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal, berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara ontologis dan axiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
      Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat super rasional dan super individual. Bahkan bagi kaum religius kebenaran illahi ini adalah kebenaran tertinggi, dimana semua kebenaran (kebenaran indera, kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebenaran ini :
      Agama sebagai teori kebenaran, Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi, fakta, realitas dan kegunaan sebagai landasannya. Dalam teori kebenaran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sebagai makluk pencari kebenaran, manusia mencari dan menemukan kebenaran melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Agama dengan kitab suci dan haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk kebenaran.
e.       Teori kebenaran berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
      Proposi itu ditinjau dari segi artinya atau maknanya. Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai referen yang jelas. Oleh sebab itu, teori ini mempunyai tugas untuk menguakkan kesahan dari proposisi dalam referensinya. Teori kebenaran semantik dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russel sebagai tokoh pemula dari filsafat Analitika Bahasa. Misalnya filsafat secara etimologi berasal dari bahasa Yunani philosophia yang berarti cinta akan kebijaksanaan. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau ada referensi yang jelas. Jika tidak mempunyai referensi yang jelas maka pengetahuan tersebut salah.
f.        Teori kebenaran sintaksis
      Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar apabila pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang di antara filsuf analisis bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika. Misalnya suatu kalimat standar harus ada subjek dan predikat. Jika kalimat tidak ada subjek maka kalimat itu dinyatakan tidak baku atau bukan kalimat. Seperti `semua korupsi` ini bukan kalimat standar karena tidak ada subjeknya.
g.      Teori kebenaran nondeskripsi
      Teori kebenaran non deskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Karena pada dasarnya suatu statement atau pernyataan akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung pada peran dan fungsi dari pernyataan itu. Jadi, pengetahuan akan memiliki niali benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari- hari.
h.      Teori kebenaran logic yang berlebihan (Logical superfluity of truth)
      Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori ini, problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini mengakibatkan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki drajat logis yang masing-masing saling melingkupinya.

4.      Analisis kebenaran dalam pendidikan
      Secara epistemologis, kebenaran pendidikan menunjuk hasil dari seluruh rangkaian kegiatan pendidikan. Jika bentuk dan materi pendidikan terpadu maka pendidikan itu benar adanya.
      Pendidikan sekolah menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara keilmuan untuk mencapai kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah adalah landasan terbentuknya watak da sikap ilmiah. Masyarakat terbuka bersifat monopluralistik, dimana potensi individual menyublin dalam wujud dan bentuk kesatuan menyeluruh yang dinamis, merdeka dan otonom.
      Salah satu ciri masyarakat terdidik adalah cenderung produktif dalam perekonomian, ketertiban sosial menurut peraturan hukum, bidang kesehatan dalam hal ini pelayanan publik dan bidang penyelenggaraan pendidikan.
Dalam kehidupan masyarakat terdidik, kegiatan politik diselenggarakan secara benar menurut estimologi pendidikan dan penyelenggaraan kegiatan pendidikan menganut sistem terbuka.
      Melalui pemahan tentang objek pendidikan, maka wawasan pendidikan dan kehidupan menjadi semakin terbuka lebar. Jika wawasan pendidikan bersenyawa dengan nilai kebenaran pendidikan akan tertanam kuat dan akan membentuk sikap keterdidikan yang diharapkan.

D.    SASARAN ETIKA PENDIDIKAN
1.      Etika Hakikat Nilai Kebaikan
      Ada tiga jenis nilai yang dipersoalkan yaitu nilai keindahan, nilai kebenaran dan kebaikan. Nilai keindahan dalam cabang filsafat estetika, nilai kebaikan dalam filsafat epistemologi dan nilai kebaikan dalam filsafat etika.
            Etika adalah suatu studi filosofis mengenai moral. Berdasarkan pada sistematika filsafat, nilai keindahan, kebenaran dan kebaikan berada saling berhubungan secara integral menurut hokum kausalitas. Yang bernilai baik seharusnya benar dan indah, yang bernilai benar seharusnya baik dan indah, dan yang bernilai indah seharusnya benar dan baik.
      Pada hakikatnya kehidupan ini indah, ketika semua pihak bekerjasama saling tolong-menolong, saling memberi dalam ikatan kebersamaan yang harmonis. Hakikat nilai kebaikan itu berada di dalam perilaku.
2.      Sasaran Etika Pendidikan
      Kecerdasan emosional adalah sebuah perilaku yang dibangun menurut dasar ontologism dan epistemologis pendidikan. Bentuk dan wujud kecerdasan emosional adalah kemampuan mengendalikan diri untuk tidak melampaui batas.
Di dalam keluarga pengembangan kecerdasan emosional sangat bergantung pada kualitas pendidikan orang tua. Selanjutnya sekolah berkepentingan membangun criteria kecerdasan emosional, dan masyarakat merupakan tempat perbaikan perilaku moral setiap individu untuk menjadi cerdas.



DAFTAR PUSTAKA







 A.    FILSAFAT PENDIDIKAN MENURUT KI HAJAR DEWANTARA
1.      Biografi Ki Hajar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara (Yogyakarta, 2 Mei 188926 April 1959) adalah seorang pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Lahir dengan nama Raden Mas Suwardi Suryaningrat, beliau mendirikan perguruan Taman Siswa yang memberikan kesempatan bagi para pribumi untuk bisa memperoleh pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Beliau wafat pada 26 April 1959 dan dimakamkan di Wijayabrata, Yogyakarta. Tanggal lahirnya, 2 Mei, kemudian dijadikan Hari Pendidikan Nasional di Indonesia. Beliau dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia dan wajahnya bisa dilihat pada uang kertas pecahan Rp20.000. Nama beliau diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Selain itu, sampai saat ini perguruan Taman Siswa yang beliau dirikan masih ada dan telah memiliki sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi.
Banyak karya beliau yang menjadi landasan rakyat Indonesia dalam mengembangkan pendidikan, khususnya kalimat filosofis (selain dari konsep 3 dinding diatas) seperti ING NGARSO SUNTOLODO, ING MADYO MANGUN KARSO, TUT WURI HANDAYANI (Di depan memberi teladan, di tengah memberi bimbingan, di belakang memberi dorongan). Semboyannya yang paling terkenal yaitu “tut wuri handayani” yang selalu tertempel di topi, dasi, dan tidak jarang juga di dada setiap siswa siswi Indonesia dari SD sampai SMU.
Ki Hajar Dewantara mendirikan Perguruan Taman Siswa pada tahun 1922 di Yogyakarta. Sebuah lembaga yang pertama kali menjadi motivator bagi warga negara Indonesia demi melanjutkan kemerdekaan yang akan menjadi proses kemerdekaan kita saat ini. Sejak awal Taman Siswa memiliki semboyan yang tertera diatas. Semboyan yang sering dipertanyakan oleh berbagai peserta didik saat ini. Apa yang terkandung dalam semboyan yang menjadi dasar filosofi pendidikan yang dibuat oleh Ki Hajar Dewantara.

2.      Pemikiran Ki Hajar Dewantara
Berbagai macam cara yang dilakukan Ki Hajar dewantara demi memperjuangkan kemerdekaan pendidikan Indonesia. Salah satunya dengan seringnya mengubah namanya sediri. Hal tersebut dimasudkan untuk menunjukkan perubahan sikapnya dalam melaksanakan pendidikan yaitu dari satria pinandita ke pinandita satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi bangsa dan negara. Bagi Ki Hajar Dewantara, para guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam kepribadian dan kerohanian, baru kemudian menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela nusa dan bangsa. Dengan kata lain, yang diutamakan sebagai pendidik pertama-tama adalah fungsinya sebagai model atau figure keteladanan, baru kemudian sebagai fasilitator atau pengajar. Oleh karena itu, nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran, keutamaan.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak- anak. Adapun tujuannya adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Dengan berbagai ide yang dimiliki dari Ki Hajar Dewantara ada satu konsep yang terlupakan. Ki Hajar pernah melontarkan konsep belajar 3 dinding. Kalau kita mengingat masa lalu ketika masih di bangku sekolah, bentuk ruang kelas kita rata-rata adalah persegi empat. Nah, Ki Hajar menyarankan ruang kelas itu hanya dibangun 3 sisi dinding saja. Ada satu sisi yang terbuka. Konsep ini bukan main-main filosofinya. Dengan ada satu dinding yang terbuka, maka seolah hendak menegaskan tidak ada batas atau jarak antara di dalam kelas dengan realita di luar.
1.      Tujuan pendidikan
Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia atau menjadikan manusia/peserta didik kian beradab dan memiliki keadaban (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
Selain itu pendidikan juga merupakan sarana untuk memperbaharui diri. Tanpa pendidikan, kita akan terperangkap hidup pada masa lalu. Itu sebabnya pakar kepemimpinan Manfred Kets De Vries mencatat, salah satu penghalang bagi manusia untuk memperbaharui diri adalah karena selalu merupakan produksi masa lalu. Jika hingga saat ini pendidikan hanya dimengerti sebagai pengajaran sebagaimana telah terjadi selama ini, maka kita juga tidak akan pernah berubah. Akibatnya kita akan selalu menjadi produk masa lalu yang tidak beruntung.
2.      Hakekat pendidikan
Ki Hadjar Dewantara membedakan antara  sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan”.  Menurutnya pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik). Manusia merdeka itu adalah manusia yang hidupnya secara lahir dan batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi ia mampu bersandar dan berdiri di atas kakinya sendiri. Artinya  sistem pendidikan itu mampu menjadikan setiap individu hidup mandiri dan berani berpikir sendiri  atau memakai istilah Kant, sapere aude. Dalam arti luas maksud pendidikan dan pengajaran adalah bagaimana memerdekakan manusia sebagai anggota dari sebuah persatuan (rakyat). Kemerdekaan yang dimaksud adalah kemerdekaan yang bersifat dewasa dan menjunjung tinggi nilai-nilai hidup bersama. Oleh karena itu, setiap orang merdeka harus memperhatikan dan menyesuaikan diri dengan lingkungan di mana ia hidup. Dalam hal ini harus menyadari bahwa setiap individu juga memiliki hak yang sama seperti dirinya yang juga berhak menuntut kemerdekaanya.
Dapat disimpulkan bahwa menurut KHD pendidikan yang sesungguhnya adalah menyangkut jiwa dan raga setiap individu untuk semakin dewasa dan mandiri. Pendidikan di sini termasuk lahir dan batin. Serta pendidikan harus melibatkan pertimbangan kemanusiaan dan selaras dengan nilai-nilai hakiki yang ada dalam diri setiap peserta didik.
3.      Metode Pendidikan
Dalam pemikiran kihajar dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik pengajaran meliputi ‘kepala, hati dan panca indera’ (educate the head, the heart, and the hand).
Among mempunyai pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang. Pelaksana “among” (momong) disebut Pamong, yang mempunyai kepandaian dan pengalaman lebih dari yang diamong. Guru atau dosen di Tamansiswa disebut pamong yang bertugas mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu. Tujuan sistem among membangun anak didik menjadi manusia beriman dan bertakwa, merdeka lahir batin, budi pekerti luhur, cerdas dan berketrampilan, serta sehat jasmani rohani agar menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya.
Sistem among mengharamkan hukuman disiplin dengan paksaan/kekerasan karena itu akan menghilangkan jiwa merdeka anak. Sistem Among dilaksanakan secara “tut wuri handayani” dimana kita dapat “menemukenali” anak, bila perlu perilaku anak boleh dikoreksi (handayani) namun tetap dilaksanakan dengan kasih sayang. Pendidikan yang beralaskan paksaan-hukuman-ketertiban kita anggap memperkosa hidup kebatinan sang anak. Yang kita pakai sebagai alat pendidikan yaitu pemeliharaan dengan sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. Itulah yang kita namakan Among Methode.”
4.      Kurikulum Pendidikan
Mengenai kurikulum Ki Hajar belum memberikan definisi kurikulum secara konkrit. Namun secara substansial sudah tersirat, sebagaimana yang dikutip Prof. Dr. Abuddin Nata, M.A dari buku Ki Hajar Dewantara yang berjudul Bagian Pertama Pendidikan, menyatakan pembagian pelajaran kepada dua bagian pertama, pelajaran yang selain memberikan pengetahuan (kepandaian) yang berpengaruh pada kemajuan batin. Dalam artian mematangkan pikiran, rasa, dan kemauan. Yang kedua, adalah pelajaran yang yang memberi bekal pada anak-anak untuk hidupnya kelak dalam dunia pergaulan umum; yaitu pelajaran yang meliputi lapangan kultural dan kemasyarakatan.
Hal yang lainnya adalah bahwa Ki Hajar Dewantara amat mementingkan pendidkan kanak-kanak, (sebagaiman yang di cantumkan dalam asas taman siswa pasal 6) kesenian, kekeluargaan, keIndonesiaan, kejiwaan, kesopanan, dan bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa asing.
Dapat disimpulkan bahwa pandangan Ki Hajar Dewantara mengenai Kurikulum pendidikan lebih banyak mengarah kepada pembentukan kemampuan anak didik agar mandiri, merdeka namun dapat mencerna pendidikan barat yang lebih bersifat intelektualitas dan materalisme.
3.      Pokok Pikiran Filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara
Konsep Ki Hajar Dewantara termasuk aliran filsafat pendidikan yang menganut definisi pendidikan, apabila dilihat dari sudut aliran filsafat pendidikan evolusionistis yang lebih menekankan tangga-tangga psikologis perkembangan manusia. Suatu konsep pendidikan yang lebih mengarahkan orientasinya pada aspek-aspek kehidupan modern yang kompleks dan rumit kaitannya, yang lebih individualisis sehinga menuntut kemampuan individual masing-masing pribadi dalam mengadakan penyesuaian kehidupan psikologsnya. Konsep tentang anthropologi filsafat kalau tidak dirumuskan dalam definisi pendidikan dapat dicari pada rumusan tentang tujuan pendidikannya. Sebagai contoh dalam sejarah pemikiran filsafat pendidikan Indonesia, kita dikenalkan dengan salah satu rumusan tujuan pendidikan sebagai berikut Membentuk manusia susila yang cakap dan warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab atas kesejahteraan Negara dan tanah air.
Dalam rumusan ini hakekat manusia sebagai suatu aspek yang bernilai martabat yang sama, sehinga yang satu tidak boleh mencaplok atau menghisap yang lain, artinya manusia dihisap warga negara sehingga mengarah ke terhisapnya kepentingan individu demi kepentingan dan kejayaan Negara, dan sebaliknya hilangnya aspek warganegara dan mengarah ke individualisme yang otomistis. Suatu ilustrasi tujuan pendidikan yang mengarah ke penghisapan individualitas manusia ke dalam konsep warganegara adalah definisi pendidikan di bawah ini Pendidikan adalah kegiatan atau proses dengan mana individual dibina agar loyal setia tanpa sarat dan penyesuaian membuka pada kelompok atau individu.

B.     PARADIGMA ONTOLOGI PENDIDIKAN
1.      Pengertian ontologi
      Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti ThalesPlato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan.
      Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
      Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:
§  kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak?
§  Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
      Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realismenaturalismeempirisme
      Istilah istilah terpenting yang terkait dengan ontologi adalah:
§  yang-ada (being)
§  kenyataan/realitas (reality)
§  eksistensi (existence)
§  esensi (essence)
§  substansi (substance)
§  perubahan (change)
§  tunggal (one)
§  jamak (many)
Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologisosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budayafisika, ilmu teknik dan sebagainya).
Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
2.      Objek formal ontologi
      Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima. Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
3.      Metode dalam ontologi
      Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek; sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang menjadi dasar dari semua realitas.
      Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi adalah abstraksi metaphisik. Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori.
      Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh :
      Sesuatu yang bersifat lahirah itu fana (Tt-P)
      Badan itu sesuatu yang lahiri (S-Tt)
      Jadi, badan itu fana’ (S-P)
                Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik sebagai berikut:
Contoh :
            Gigi geligi itu gigi geligi rahang dinasaurus (Tt-S)
            Gigi geligi itu gigi geligi pemakan tumbuhan (Tt-P)
            Jadi, Dinausaurus itu pemakan tumbuhan (S-P)
                Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.
4.      Sebuah Paradigma Ontologi Pendidikan
      Secara ontologism, dikatakan bahwa tanpa manusia pendidikan itu bukan apa-apa (nothing), sebaliknya tanpa pendidikan mustahil manusia mampu mempertahankan kelangsungan dan mengembangkan hidupnya.
Secara ontologis manusia berada dalam tiga tingkatan hakikat yaitu;
§  Essensi abstark pendidikan. Artinya pendidikan itu bersifat universal yaitu mutlak ada dan berlaku untuk setiap manusia siapapun, kapanpun dan dimanapun.
§  Essensi potensial pendidikan. Dalam hal ini manusia menjadi dirinya sendiri dimana ia menumbuh kembangkan keceerdasan intelegensi sehingga terbentuk kepribadian yang kreatif. Dimana ia dapat yekun, teliti dan terampil dalam menghadapi masalah dalam kehidupan sehari-hari.
§  Essensial konkret pendidikan. Pada tingkatan ini pendidikan adalah upaya untuk menumbuhkan kesadaran akan hakekatnya berdasarkan asal mula dan tujuan hidup manusia.

C.    KEBENARAN DALAM PENDIDIKAN
      Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
      Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
      Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?
      Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.
1.      Pengukuran  definisi kebenaran
      Apakah kebenaran itu? Inilah yang lebih lanjut harus dihadapi di dalam filsafat ilmu. Hal kebenaran sesungguhnya merupakan tema sentral di dalam filsafat ilmu. Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran. Rasanya lebih tepat kalu pertanyaan kemudian dirumuskan menjadi apakah pengetahuan yang benar itu
      Problematika mengenai kebenaran, seperti halnya problematic tentang pengetahuan, merupakan masalah-masalah yang mengacu pada tumbuh dan berkembangnya dalam filsafat ilmu. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadarminta ditemukan arti kebenaran yakni:
a.       Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya); misal, kebenaran beita ini masih saya sangsikan; kita harus berani membelan kebenaran dan keadilan.
b.      Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya); misal, kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama.
c.       Kejujuran; kelurusan hati; misal tidak ada seorang pun yang sangsi akan kebaikan dan kebenaran hatimu.
d.      Selalu izin; perkenaan; misal, dengan kebenaran yang dipertuan.
e.       Jalan kebetulan; misal, penjahat itu dapat dibekuk dengan cara kebenaran saja.
      Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan kesadarannya tak mungkin tanpa kebenaran.
      Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
a.       Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhana dan pertama yang dialami manusia.
b.      Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indera, diolah pula dengan rasio.
c.       Tingkat filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya.
d.      Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.
      Keempat tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenaran itu. Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indra.
      Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebenaran itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.
      Ukuran Kebenarannya :
§  Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran.
§  Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain.
§  Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran.


2.      Jenis-jenis Kebenaran.
      Telaah dalam filsafat ilmu, membawa orang kepada kebenaran dibagi dalam tiga jenis. Menurut A.M.W. Pranarka (1987) tiga jenis Kebenaran itu adalah:
a.       Kebenaran epstimologikal.
b.      Kebenaran ontological.
c.       Kebenaran semantikal.
      Kebenaran epstimogikal adalah pengertian kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia. Kadang disebut dengan istilah veritas cognition ataupunveritas logica. 
      Kebenaran dalam arti ontological adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada ataupun diadakan. Apabila dihubungkan dengan kebenaran epstimologikal kadang-kadang disebut juga kebenaran sebagai sifat dasar yang ada di dalam objek pengetahuan itu sendiri.
      Adapun kebenaran dalam arti semantikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa. Kebenaran semantikal disebut juga kebenaran moral (veritas moralis) karena apakah tutur kata dan bahasa itu mengkhianati atau tidak terhadap kebenaran epstimologikal atau pun kebenaran ontological tergantung kepada manusianya yang mempunyai kemerdekaan untuk menggunakan tutur kata atau pun bahasa itu. Apabila kebenaran epstimologikal terletak di dalam adanya kemanunggalan yang sesuai serasi terpadu antara apa yang dinyatakan oleh proses cognitive intelektual manusia dengan apa yang sesungguhnya ada di dalam objek (yang disebutesse reale rei), apakah itu konkret atau abstrak, maka implikasinya bahwa di dalamesse reale rei tersebut memang terkandung suatu sifat intelligibilitas (dapat diketahui kebenarannya). Hal adanya intelligibilitas sebagai kodrat yang melekat di dalam objek, di dalam benda, barang, makhluk dan sebagainya sebagai objek potensial maupun riil dari pengetahuan cognitif intelektual manusia itulah yang disebut kebenaran ontological, ialah sifat benar yang melekat di dalam objek. 


3.      Teori-Teori Kebenaran.
a.      Teori Corespondence
      Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita obyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.
      Teori korespodensi (corespondence theory of truth) menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.
      Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselarasan dengan realitas yang serasi dengan situasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
§  Statement (pernyataan)
§  Persesuaian (agreemant)
§  Situasi (situation)
§  Kenyataan (realitas)
§  Putusan (judgements)
      Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristoteles dan moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Bernard Russel pada abad moderen.
      Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menurut corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.
      Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standar atau asas normatif bagi tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku, harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
      Misalnya pengetahuan `air akan menguap jika dipanasi sampai dengan 100 derajat`. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau kemudian dicoba memanasi air dan diukur sampai seratus derajat, apakah air menguap! Jika terbukti tidak menguap maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah, dan jika terbukti air menguap, maka pengetahuan tersebut dinyatakan benar.
b.      Teori Consistency
      Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
      Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain. Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang.
      Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dan kelanjutan yang teliti dari teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.
      Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya. Rumusan kebenaran adalah truth is a sistematis coherence dan truth is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C
      Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
      Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggap benar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yang benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya. Sebagai contoh, kita mempunyai pengetahuan bahwa runtuhnya kerajaan Majapahit adalah tahun 1478. Dalam hal ini kita tidak dapat membuktikan secara langsung dari isi pengetahuan itu, melainkan hanya dapat membuktikan melalui hubungan dengan proposi yang terdahulu, baik dalam buku-buku sejarah atau peniggalan sejarah yang mengungkapkan kejadian itu.
c.       Teori Pragmatisme
      Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode project atau metode problem solving di dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar, hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengembalikan pribadi manusia di dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan. Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah.
      Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran). Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memiliki kebenaran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.
      Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workobility) dan akibat yang memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya.
      Akibat / hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
§  Sesuai dengan keinginan dan tujuan
§  Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen
§  Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)
      Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsuf Amerika, tokohnya adalah Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey (1852-1859).
      Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsekuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsekuensi tidaklah terletak di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi) atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuatu melalui praktek di dalam program problem solving. Misal pengetahuan naik bis, lalu akan turun dan bilang kepada kondektur `kiri`, kemudian bis berhenti diposisi kiri. Dengan berhenti di posisi kiri, penumpang bias turun dengan selamat. Jadi mengukur kebenaran bukan dilihat bukan karena bis berhenti di posisi kiri, namun penumpang bias turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.
d.      Kebenaran Religius
      Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.
      Kebenaran tak cukup hanya diukur dengan rasio dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal, berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara ontologis dan axiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
      Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat super rasional dan super individual. Bahkan bagi kaum religius kebenaran illahi ini adalah kebenaran tertinggi, dimana semua kebenaran (kebenaran indera, kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebenaran ini :
      Agama sebagai teori kebenaran, Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi, fakta, realitas dan kegunaan sebagai landasannya. Dalam teori kebenaran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sebagai makluk pencari kebenaran, manusia mencari dan menemukan kebenaran melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak. Agama dengan kitab suci dan haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk kebenaran.
e.       Teori kebenaran berdasarkan Arti (Semantic Theory of Truth)
      Proposi itu ditinjau dari segi artinya atau maknanya. Apakah proposisi yang merupakan pangkal tumpunya itu mempunyai referen yang jelas. Oleh sebab itu, teori ini mempunyai tugas untuk menguakkan kesahan dari proposisi dalam referensinya. Teori kebenaran semantik dianut oleh paham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russel sebagai tokoh pemula dari filsafat Analitika Bahasa. Misalnya filsafat secara etimologi berasal dari bahasa Yunani philosophia yang berarti cinta akan kebijaksanaan. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau ada referensi yang jelas. Jika tidak mempunyai referensi yang jelas maka pengetahuan tersebut salah.
f.        Teori kebenaran sintaksis
      Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar apabila pernyataan itu mengikuti aturan-aturan sintaksis yang baku. Atau dengan kata lain apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang di antara filsuf analisis bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika. Misalnya suatu kalimat standar harus ada subjek dan predikat. Jika kalimat tidak ada subjek maka kalimat itu dinyatakan tidak baku atau bukan kalimat. Seperti `semua korupsi` ini bukan kalimat standar karena tidak ada subjeknya.
g.      Teori kebenaran nondeskripsi
      Teori kebenaran non deskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Karena pada dasarnya suatu statement atau pernyataan akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung pada peran dan fungsi dari pernyataan itu. Jadi, pengetahuan akan memiliki niali benar sejauh pernyataan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari- hari.
h.      Teori kebenaran logic yang berlebihan (Logical superfluity of truth)
      Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik yang diawali oleh Ayer. Pada dasarnya menurut teori ini, problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini mengakibatkan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki drajat logis yang masing-masing saling melingkupinya.

4.      Analisis kebenaran dalam pendidikan
      Secara epistemologis, kebenaran pendidikan menunjuk hasil dari seluruh rangkaian kegiatan pendidikan. Jika bentuk dan materi pendidikan terpadu maka pendidikan itu benar adanya.
      Pendidikan sekolah menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara keilmuan untuk mencapai kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah adalah landasan terbentuknya watak da sikap ilmiah. Masyarakat terbuka bersifat monopluralistik, dimana potensi individual menyublin dalam wujud dan bentuk kesatuan menyeluruh yang dinamis, merdeka dan otonom.
      Salah satu ciri masyarakat terdidik adalah cenderung produktif dalam perekonomian, ketertiban sosial menurut peraturan hukum, bidang kesehatan dalam hal ini pelayanan publik dan bidang penyelenggaraan pendidikan.
Dalam kehidupan masyarakat terdidik, kegiatan politik diselenggarakan secara benar menurut estimologi pendidikan dan penyelenggaraan kegiatan pendidikan menganut sistem terbuka.
      Melalui pemahan tentang objek pendidikan, maka wawasan pendidikan dan kehidupan menjadi semakin terbuka lebar. Jika wawasan pendidikan bersenyawa dengan nilai kebenaran pendidikan akan tertanam kuat dan akan membentuk sikap keterdidikan yang diharapkan.

D.    SASARAN ETIKA PENDIDIKAN
1.      Etika Hakikat Nilai Kebaikan
      Ada tiga jenis nilai yang dipersoalkan yaitu nilai keindahan, nilai kebenaran dan kebaikan. Nilai keindahan dalam cabang filsafat estetika, nilai kebaikan dalam filsafat epistemologi dan nilai kebaikan dalam filsafat etika.
            Etika adalah suatu studi filosofis mengenai moral. Berdasarkan pada sistematika filsafat, nilai keindahan, kebenaran dan kebaikan berada saling berhubungan secara integral menurut hokum kausalitas. Yang bernilai baik seharusnya benar dan indah, yang bernilai benar seharusnya baik dan indah, dan yang bernilai indah seharusnya benar dan baik.
      Pada hakikatnya kehidupan ini indah, ketika semua pihak bekerjasama saling tolong-menolong, saling memberi dalam ikatan kebersamaan yang harmonis. Hakikat nilai kebaikan itu berada di dalam perilaku.
2.      Sasaran Etika Pendidikan
      Kecerdasan emosional adalah sebuah perilaku yang dibangun menurut dasar ontologism dan epistemologis pendidikan. Bentuk dan wujud kecerdasan emosional adalah kemampuan mengendalikan diri untuk tidak melampaui batas.
Di dalam keluarga pengembangan kecerdasan emosional sangat bergantung pada kualitas pendidikan orang tua. Selanjutnya sekolah berkepentingan membangun criteria kecerdasan emosional, dan masyarakat merupakan tempat perbaikan perilaku moral setiap individu untuk menjadi cerdas.



DAFTAR PUSTAKA








Tidak ada komentar: